Twenty One

3.8K 483 6
                                    

Andrew

Saat aku melihat Mercy lunglai ke lantai, aku langsung menggendongnya ke UGD. Aku panik melihatnya jatuh sesaaat setelah melihatku muncul. Yang ada dalam pikiranku, langsung negatif.

Rasa takut akan kehilangan seseorang lagi membuatku panik. Aku sudah kehilangan Lita, baru saja kehilangan Amel. Kini aku melihat Mercy yang lemah, sedang berbaring di atas tempat tidur, memejamkan matanya dengan wajah pucat pasi.

Karena tidak bisa mendengar informasi dari Mercy secara langsung, maka dokter yang berjaga di UGD meminta Heru untuk memberi keterangan yang dilihatnya seharian ini. Baru setelah itu Mercy diberi infusan dan darahnya diambil untuk dites.

"Vertigo." Dokter jaga di UGD mengatakan itu. "Minimal tiga harilah dirawat. Nanti kalau kamarnya sudah siap, kita pindahin ke ruang perawatan. Sementara tunggu di sini dulu ya."

"Makasih, Dok," jawabku.

"Udah gue duga pasti bakalan K.O. juga ini anak," gumam Heru sambil menahan tawanya menggunakan tangan kirinya. "Tidur yang puas deh lo, biar nggak lemes lagi Mey."

Aku yang berdiri tak jauh dari Heru pun memandang Heru dengan wajah heran sebenarnya.

"Mercy itu udah susah tidur banget selama dua minggu terakhir. Tidurnya nggak karuan, kadang dua jam, kadang tiga jam, paling lama cuma lima jam. Itupun sejam sekali kebangun," ujar Heru, "Saking nggak kuatnya lagi karena susah tidur, akhirnya dia minum obat tidur deh dua hari yang lalu supaya bisa tidur. Tapi ujung-ujungnya tetep nggak bisa tidur juga.

"Dia sendiri udah nggak pulang ke rumahnya semingguan. Bukan karena jaga malem, tapi katanya kalo pulang ke rumah makin nggak bisa istirahat dia. Makanya lebih pilih buat stay di rumah sakit. Akhirnya tumbang juga."

Ucapan Heru membuatku sedikit tenang.

Setidaknya, akh tahu alasan dibalik pingsannya Mercy. Dia kelelahan, dan butuh istirahat lebih. Makanya sampai begini.

"Gue tahu, lo masih sedih karena anak lo meninggal. Tapi, coba pikirin perasaan orang lain di sekitar lo yang masih hidup. Apa mereka semua lo anggep patung? Sampe nggak ada lo gubris sama sekali?"

Teguran itu menohokku.

"Sedih boleh, Bro. Tapi, jangan berlarut-larut." Heru menepuk pundakku beberapa kali, "Mungkin lo nggak sadar, tapi Mercy itu kepikiran omongan orang-orang yang melayat di pemakamannya anak lo waktu itu. Pelayat banyak bahas soal lo, dan perempuan yang namanya Lita."

Mercy denger soal Lita di pemakaman Amel?

"Mercy kadang emang lemot dan oon. Apalagi kalau kurang tidur. Tapi dia nggak buta dan tuli. Dia bisa melihat cara pelayat itu memandang lo yang tubuhnya bergetar terus, dan dia juga bisa denger semua omongan pelayat yang dateng," jelas Heru padaku. "Gue nggak ngerti lo mau nikahin Mercy karena apa. Gue juga nggak tahu lo sebenernya punya perasaan apa nggak sama dia. Tapi yang gue minta, tolong jaga sahabat gue. Dia orang paling tulus yang gue kenal. Berapa kalipun dikadalin, dia nggak pernah marah."

Aku merasa gagal mengenal Mercy.

Saat sahabatnya mengatakan itu, aku merasa tidak layak untuk perempuan di depanku ini. Aku tahu dia memiliki perasaan padaku sejak dia menciumku di parkiran rumah sakit.

Tapi perasaanku padanya masih abstrak. Belum bisa aku utarakan bagaimana perasaanku untuknya.

Setelah Mercy dipindahkan ke ruang perawatan di lantai 10, aku mengabari Dokter Abby mengenai keadaan cucunya yang vertigo, dan diharuskan untuk dirawat di rumah sakit karena kelelahan. Dokter Abby mengatakan terima kasih kepadaku karena sudah mengabarinya, dan memintaku untuk menunggui Mercy sampai setidaknya besok. Tanpa diminta pun, aku sudah melakukannya. 

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang