Mercy
Selama berhari-hari, aku nggak bisa berhenti mikir.
Bukan mikirin soal pekerjaanku yang njelimet banget. Bukan juga mikirin trio dokter rese yang belakangan ngejar-ngejar aku demi jabatan yang tertinggi di rumah sakit pula. Kalau kalian berpikiran aku terbayang-bayang sosok ganteng Andrew... Nggak kok.
Aku memang mengagumi kegantengannya—dan juga mobilnya yang kece parah itu.
Tapi saat ini, aku memikirkan mantanku.
Kalian nggak salah. Aku memikirkan Sergio Romanos. Semakin aku berusaha melupakannya, malah aku semakin terngiang dengan sikap-sikap manisnya dulu yang berhasil membuat duniaku jungkir balik nggak keruan. Padahal sudah hampir dua bulan sejak aku putus dengan Sergio, dan trio dokter rese mendekatiku. Tapi tetap saja, aku tidak mampu melupakan Sergio.
Kata orang bagian yang paling sedih dari putus cinta adalah ketika kalian udah nggak bisa memilikinya, namun masih mencintainya. Itulah yang terjadi padaku saat ini. Kalau definisi lagu Secret Love Song-nya Little Mix kan mereka saling cinta dan saling berhubungan tapi diam-diam. Kalau aku mungkin lebih cocok pakai lagu Pupus ya?
Cintaku selama sekian tahun ini ternyata hanya bertepuk sebelah tangan setelah Sergio meniduri Cynthia dan ia hamil anak Sergio.
"Kampus rasanya udah bukan kampus lagi, De," kataku gontai. Hari ini aku ke kampus untuk mengurus beberapa berkas yang harus aku update guna kelanjutan residenku. Beberapa bulan lagi akan menjadi residen tahun kedua bersama dengan Dea, Roni dan Heru.
"Apaan coba? Kampus udah bukan kampus lagi?" ulangnya sambil menaikkan satu alisnya, "Cuma karena Sergio putus sama lo bukan berarti hidup lo langsung berubah seratus delapan puluh derajat, Mey!"
"Lah buktinya... dulu semua dokter-dokter di gedung ini ramah sama gue karena gue pacarnya Sergio, mereka nanyain kabar Sergio, terus gimana spesialisasinya dan..."
Cletak!
Aku merasakan dahiku disentil oleh jari lentik Dea yang panjang dan kukunya yang belum dipotong. "Aw! Sakit anjir!" seruku sambil memegangi dahiku yang habis disentil olehnya.
"Biar lo sadar! Selama ini dokter-dokter perhatiannya itu sama Sergio," tukasnya, "Bukan elo, Marceline Irena!" Dea memasukkan beberapa kertas laporannya ke dalam map, sementara aku yang sudah selesai dengan semua berkas yang harus kukumpulkan sedang menyerap ucapan Dea tadi. Ucapannya ada benarnya juga sih. Selama ini dokter-dokter yang adalah dosen di FK ini hanya memerhatikan Sergio, dan bukan aku.
Kami sampai di depan TU FK sebelum jam makan siang. Orang TU pun menerima berkas-berkas kami dan mengatakan kalau kami bisa bertemu dengan Dokter Dhani sebentar lagi setelah jam mengajarnya selesai. Percayalah, aku pun kaget waktu mendengar konsulen yang kami takuti itu terdaftar menjadi dosen di kampus. Tentu saja yang diajarkannya adalah ilmu bedah. Mau apa lagi memangnya?
"Kalian berdua nunggu saya kan?" tegur sosok yang kita tunggu belum lama. "Kelasnya sudah selesai. Langsung ke ruangan saya saja."
Aku dan Dea menurut, dan menunggu Dokter Dhani di dalam ruangannya. Ruangannya tidak jauh berbeda dengan ruangan yang dimilikinya di rumah sakit. Bedanya, di sini tidak ada tempat tidur untuk periksa pasien, dan ruangan ini lebih banyak dipenuhi dengan buku-buku bedah, anatomi dan onkologi. Akhir-akhir ini Dokter Dhani sering mengambil kasus tumor, memang yang kutahu juga dia sedang proses untuk mengambil sub-spesialis bedah onkologi.
Dia memang menyebalkan, tapi sebagai dokter aku mengakui kehebatannya.
Tak lama orang yang kami tunggu-tunggu pun masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...