Hai!
Gimana part satunya? Seru nggak? Atau B aja ah! Hahaha.. nggak papa, itu kan hak kalian sebagai pembaca buat nentuin kalian mau bilang bagus atau seru atau B aja.
Overall, aku terimakasih banget buat temen-temen sekalian yang sudah VOTE part satunya. Puji Tuhan udah 17 votes. Buat aku, responnya berarti udah cukup baik. Makanya aku seneng hehehe :') gampang puas banget ya? Dasar aku! Haha
Anyway, makasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca ceritaku, dan memberikan support berupa VOTE maupun COMMENT.
Ditunggu support-support kalian yang lainnya yaaaaLuvyaa <3
A.P.-----
Mercy.
"Capek banget kayaknya anak bedah yang satu ini?" Tanya Sergio sembari menikmati makanan yang dipesannya. Hei, aku yakin dia juga punya teman yang mengikuti PPDS bedah, dan dia sebenarnya hanya menanyakan itu untuk basa-basi saja.
"Well, as you see. I'm so tired, and having a good sleep would be so great."
"Kalo gitu ngapain masih mau ketemu aku?" Tanya Sergio.
"Kan aku kangen kamu, Gi," balasku. "I've tried my best to look great for you tonight. Is my concealer doesn't work?" aku khawatir karena concealer yang ku pakai tidak menutupi kantong mataku yang parah itu. Astaga! Aku buru-buru mengeluarkan kaca di dalam tas yang kubawa.
"Nggak usah insecure gitu sih. Kamu mau bobo pas di jalan pulang nanti juga nggak masalah, Mey. Aku tahu kuliah lagi—dan di suatu stase yang besar—itu bukanlah suatu hal yang menyenangkan buat kamu," balasnya. "Kamu maunya rehab medik bukan?"
Aku tersenyum kecut sambil mengangguk pelan.
Sergio dan aku memang baru pacaran sekitar satu tahun terakhir. Tapi, kalian harus tahu kalau aku sudah mengejar Sergio sejak tahun pertama aku masuk Fakultas Kedokteran di Philantrophy University. Jangan tanya aku kenapa aku bisa mengejar-ngejar dia. Nyatanya, hampir seluruh mahasiswa kedokteran memang mengejar Sergio. Baik perempuan maupun laki-laki (khusus yang memang memiliki kasus khusus).
Dia lebih tua dariku dua tahun, dan memiliki kepintaran yang luar biasa. Dia campuran Jawa-Manado, dia tidak suka dessert kecuali cheese cake, tapi sangat menyukai makanan pedas, khususnya dengan bumbu rica-rica dan woku. Sergio tidak pernah mengambil kuliah malam, pasti selalu mengambil kuliah jam pagi, dan paling sore jam lima. Waktu malam harinya saat kuliah kedokteran dulu digunakannya untuk belajar di perpustakaan kampus. Saat co-ass waktu malamnya dia gunakan untuk di rumah sakit, atau di perpustakaan—lagi—saat dia sedang tidak jaga malam.
Lulus dari Fakultas Kedokteran sebagai lulusan terbaik, dengan IPK 3,93. Lalu setelah lulus, dia internship di Manado selama setahun. Setelahnya dia bekerja di rumah sakit Effendi di departemen umum, dan setelah dua tahun dia mencoba untuk mengikuti PPDS di Philantrophy University, sekali tes dia langsung masuk. Aku cukup kaget karena tahu dia mengambil obgyn. Karena aku kira dia akan mengambil neurologi atau patologi anatomi—mengingat hobinya di perpus mulu.
Aku memang mengejar-ngejar Sergio sampai setahun kemarin akhirnya aku bisa resmi berpacaran dengannya. Tapi, bukan berarti aku dekat dengannya.
Aku, seorang Marceline Irena Effendi bukanlah anak yang cemerlang di bidang kedokteran ini. Bukan aku yang menginginkan untuk masuk ke dunia serba riskan ini. Aku juga tidak mau untuk PPDS bedah. Tapi, karena impianku untuk bisa bersama Sergio akupun rela untuk mengubur mimpi-mimpiku yang lainnya agar bisa menjadi pasangan Sergio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...