Thirty Two

3.1K 358 6
                                    

Mercy

Aku memotong bawang bombay, lalu mengirisnya tipis-tipis. Mataku sudah pedas sekali rasanya. Kalau bukan karena Heru, aku tidak akan mengirisnya sehalus mungkin.

"Drew... Hiks... Kita delivery aja gimana? Aku.. Hiks.. Udah enggak sanggup lagi ngiris bawang jahanam ini," kataku sambil menarik-narik ingusku sendiri karena meleleh saking enggak sanggupnya lagi ngiris bawang. "Kamu tahu kalau sehari-hari aku megang pisau bedah, dan yang ku potong usus buntu, usus, liver! Bukannya bawang bombay ini!!"

Andrew terkekeh karena kelakuanku yang tak sengaja menyeka air mata dengan tangan kiriku yang ku gunakan untuk memgang bawang.

"Kita cuma pakai bumbu jadi loh, Mer. Ini enggak lama kok," balasnya.

"Pedes banget mataku!!"

"Siapa suruh ngelap mata pakai tangan yang dipake buat pegang bawang?"

Dengan sigap, Andrew langsung mengambil alih  sisa bawang bombay yang belum—atau mungkin lebih tepatnya tak sanggup lagi aku lanjutkan.

"Kamu siapin buah-buahnya aja," kata Andrew. "Aku sudah pesan ayam goreng, dan beberapa pastry di tempat langganan. Karena enggak mungkin kita cuma kasih makan tamu-tamu kita spaghetti bukan?"

Ide membuat spaghetti adalah idenya Andrew. Selain itu, ada Dhani dan Ella, yang tergila-gila dengan pasta. Jadilah kami tadi ke supermarket hanya membeli daging cincang, bumbu pasta siap pakai, dan spaghetti. Sisanya kami hanya membeli buah-buahan dan beberapa snack kecil untuk stok di apartemen.

"Biar aku yang selesain masakannya. Kamu beres-beres dulu sana. Ganti baju yang cantik. Mandi lagi kalau mau."

Diberikan pilihan untuk ganti baju, tentu saja aku memilih ganti baju dari pada harus meneruskan pekerjaan yang—entah kapan selesainya—kalau aku mengerjakannya mungkin nihil hasilnya.

Aku beruntung bukan?

Maaf kalau membuat kalian sirik dengan suamiku yang... Memanjakanku?

Percayalah, dia memanjakanku karena dia tahu sampai mana batas kemampuanku untuk melakukan pekerjaan. Urusan dapur, tidak pernah mutlak menjadi bagianku.

Ting-tong!!

Bel apartemen berbunyi. Aku segera keluar dari kamar setelah memakai baju yang lain.

"Hai Mey. Tadi aku sama Ella lihat mas-mas delivery di depan pintu kalian, jadi kita sekalian terima dan sekarang ini makanannya." Dokter Dhani mengangkat makanan yang dia terima. "Kenapa enggak bilang kalau kalian pesan makanan? Tahu gitu gue sama Ella bisa dateng duluan buat masakin kalian."

Dokter Dhani dan Dokter Ella masuk ke dalam apartemen setelah aku menerima makanannya, langsung aku bawa ke dapur untuk disajikan.

"Kalo kalian ikut masak, mendingan kita makan di restoran aja," balas Andrew.

"Hmm... Pasti pakai bumbu jadi ya, Drew?" Tanya Dokter Ella. "Gapapalah. Gue juga udah lama enggak makan pakai bumbu jadi."

"Mercy bisa motong bawangnya Drew? Dia biasanya cuma bisa motong usus, usus buntu, belek perut..."

"Ya ampun Dok, masa Dokter jahat banget sih?"

"Eits! Ini di luar rumah sakit. Panggil Dhani aja. Lagian ngapain sih Dak-Dok-Dak-Dok di sini. Kamu ngehina suami kamu sendiri? Dokter yang pensiun terlalu dini?"

Semuanya tertawa menanggapi ucapam Dokter—maksudku, Dhani. Agak aneh aja rasanya memanggilnya langsung dengan nama, karena selama ini aku selalu memanggilnya dengan awalan 'Dok.'

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang