31

196 31 0
                                    

SATU minggu berlalu begitu cepatnya. Petang ini, dengan satu tangan menggenggam concealer stick pemberian Mas Har dan sisanya mengepal, aku terpaku di hadapan cermin. Bagian bawah mataku yang agak gelap (dan semakin menggelap karena sejak kemarin aku belum tidur sama sekali) sudah ter-cover sempurna, tapi rasa cemas yang berhari-hari menggelayutiku tidak lantas reda.

Tidak ada yang perlu kutakutkan.

Selama perjalanan―inilah sebabnya aku enggan meladeni ajakan mengobrolmu di motor tadi―aku terus menggumamkan kalimat serupa dalam hati. Tidak ada, tidak ada, tidak ada. Dalam dua tahun terakhir ini, aku sudah mengalami banyak kemajuan: bisa mendatangi kantor, menghadiri undangan pernikahan, menjajaki mall, pun menaiki angkutan kota yang sarat penumpang. Semestinya hal "sesepele" bertandang ke acara reuni juga dapat kulakukan. Berapa banyak, sih, orang yang bersedia meluangkan waktunya untuk bertemu kawan-kawan lama yang bahkan―mati aku.

Ada begitu banyak wajah yang tak ingin kulihat di sini.

Usai melakukan registrasi, kuremas tali tas kuat-kuat agar tak seorang pun memergoki getaran tanganku. Dan, ketimbang menikmati putaran lagu atau malah duduk di kursi yang telah disediakan, aku justru melesat ke belakang panggung. Bodoh, bodoh sekali. Kenapa juga aku bisa menyamakan tempat ini dengan kantor, acara resepsi, mall, atau bahkan angkutan kota?

Jelas-jelas ini bukan lagi masalah berapa, melainkan siapa.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan langkah. Ya, sesiapa itulah yang pada akhirnya membuatku bermasalah dengan jumlah. Aku takut berada di keramaian. Aku takut mendengar kasak-kusuk, cibiran, atau tawa mengejek yang―belum tentu, tapi mungkin saja―tertuju padaku. Aku takut .... Aku takut mereka menduga-duga apa yang pernah kuhadapi atau kulakukan di masa lalu dan setelahnya menjadikanku bulan-bulanan, tanpa pernah berusaha mencari tahu kebenarannya.

Karena itulah, di mataku, tempat ini tak ubahnya kandang berisikan macan-macan kelaparan.

Lalu, akulah daging segar yang dengan bodohnya menyerahkan diri untuk dimakan.

"Ariiinnn!"

Pekikan berbonus lambaian tangan Yuki memusnahkan lamunanku. Oke, mungkin memang tidak seharusnya aku melarikan diri. Toh, aku sudah di sini. Di depan orang yang paling ingin kutemui. Aku hanya perlu mengabaikan keberadaan sisanya: mereka-mereka yang paling tidak ingin kutemui.

Aku ... tidak boleh lari lagi.

"Gila, ya. Udah tiga tahun, nih, kita lulus, lo masih gemes aja!" Yuki mendaratkan pipi tembamnya di pipi kanan dan kiriku. Sama sekali tak khawatir riasannya―omong-omong, eyelash extension dan lensa kontak yang dipakai Yuki membuatnya makin mirip boneka porselen―berpindah ke wajahku.

"Halooo? Gue gemes, lo apaan? Bayi?" balasku.

Tawa Yuki mengudara. "Serius, Rin. Lo, tuh, masih cocok banget make seragam, deh!"

"Bisa aja." Kusikut lengan blusnya yang bermodel lonceng. "Lo sendirian? Nggak sama Lukas?"

Yuki menggeleng. "Tadinya dia mau ikut, tapi kakinya keseleo pas jadi panitia OSPEK kemaren. Biasalah, namanya juga bocah pecicilan, ada aja ulahnya. Abis, deh, dia gue ceramahin semaleman."

"Ampun, deh .... Gue pikir dia udah lebih kalem sekarang, ternyata sama aja," cibirku.

"Seorang Lukas? Kalem? Sampe matahari terbit dari Barat juga nggak bakalan!" seru Yuki, kemudian memeluk lenganku―kebiasaannya ketika ingin mengajakku beranjak. Benar saja. Tanpa permisi, dibimbingnya aku menuju stan siomay bumbu kacang yang berada di luar area panggung. Aku baru saja akan mengomentari selera makannya yang belum juga berubah kala Yuki kembali membuka mulut. "Eh, lo mau gabung sama angkatan kita, nggak? Mereka di deretan paling kiri, tuh!"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang