28

230 35 15
                                    

GAUN floral selutut yang dipilihkan Mas Har untukku begitu serasi dengan setelan jas hitam yang Rafli kenakan hari ini. Kami sempat diminta berfoto di pelaminan bersama Pak Batara dan Tante Farah (beliau menolak keras saat kusapa "Bu") selaku empunya acara, tapi berhubung aku sangat lapar―tanpa tahu perutku hanya terisi air putih sejak pagi, Mas Har sama sekali tak membiarkanku mengunyah sesuatu selama dirias―kuputuskan untuk mendatangi stan salmon mayoyaki terlebih dulu sebelum berpose.

Sembari mengagumi ratusan (atau lebih tepatnya ribuan, ya?) bunga putih dan dedaunan yang nyaris menyelimuti seluruh langit-langit ruangan, kulahap tiga potongan besar salmon yang diberikan oleh penjaga stan. Ada untungnya juga aku datang dengan perut kosong, haha! Sementara Rafli, yang langsung menolak ketika kutawari, masih kerasan memandangi pelaminan sambil sesekali meneguk fruit punch.

"Lo ... udah nggak apa-apa?" tanyaku ragu.

"Sama kayak temen-temen gue, Papa butuh perempuan itu buat ngobatin rasa sakitnya setelah ditinggal Mama." Rafli menjawab di sela-sela tegukan. "Dan, sama kayak gue, Papa juga nggak bakal ngebiarin gue mengganggu atau merusak kebahagiaan barunya."

Aku tersenyum. "Emang seharusnya jangan, kan?"

Sudut bibir Rafli turut tertarik, lebar sekali. Kuikuti arah pandangnya: Tante Farah yang berisyarat, "Sudah makan?" dari kejauhan. Oh, jangan bayangkan Tante Farah akan sekejam ibu tiri di sinetron-sinetron karena sejak kami memasuki ballroom, matanya tak pernah lepas dari sosok Rafli. Tentunya diiringi tatapan sehangat―juga senyuman secerah―sinar matahari.

"Gue balik, ah," cetus Rafli seraya menaruh gelas bekas fruit punch-nya di meja.

"Eh, jangan main pulang aja, dong!" Masih sambil memegang sumpit bambu, kutahan lengan besar pemuda itu. "Paling nggak foto atau pamitan dulu, kek, sama bokap lo!"

Rafli manyun, tapi tetap menurut saat kuseret ke pelaminan. Dijabatnya tangan Pak Batara dengan kikuk, berbonus ucapan, "Selamat, ya, Pa." yang nyaris tak terdengar. Pak Batara sendiri, alih-alih menanggapi, justru memeluk Rafli erat-erat seolah tidak merelakannya pamit.

Tante Farah memberi Rafli cipika-cipiki. "Makasih udah mau dateng, ya, Raf. Hati-hati di jalan."

Tawaku hampir meledak menyaksikan telinga Rafli memerah karenanya.

"Terima kasih, ya, Rin." Pak Batara tertunduk saat kusalami. Kutebak, beliau berusaha menyembunyikan matanya yang sudah mulai berkaca-kaca lagi. "Terima kasih."

"Sama-sama, Pak," sahutku kikuk.

"Makasih banyak, ya, Sayang." Pelukan singkat dari Tante Farah singgah di bahuku. Sumpah, kalau saja wajah dan rambutku hari ini tidak "dipermak" habis-habisan oleh Mas Har, aku takkan punya nyali untuk berdiri sejajar dengan wanita secantik beliau. "Tante sama Om seneng banget Rafli bisa dateng ke sini. Oh iya, kapan-kapan kita lunch atau dinner bareng, ya? Berempat, gitu, sama Rafli juga?"

Tanganku membentuk gagang telepon. "Gampang itu, sih. Calling aku aja, Tan."

Sesi berfoto berlangsung lancar meskipun setelahnya aku harus dituntun Rafli―mataku agak perih usai diserang sinar blitz sebertubi-tubi itu―agar bisa menuruni pelaminan dengan selamat. Masih sambil berkedip, sayup-sayup kudengar Rafli bertanya, "Langsung pulang banget, nih?"

"Emang lo mau mampir ke mana dulu?" tanyaku balik.

"Nonton?"

Aku mendelik. "Gila lo, ya? Dandanan gue lagi cetar membahana begini diajak ke mall?"

"Emang kenapa?" Rafli berhenti sejenak untuk melepas jas, plus menilai tampilanku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dih, serasa juri fashion show saja dia! "Bagus, kok."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang