36 ⚠️

195 24 0
                                    

SEMANGAT hidupku seakan ikut tertimbun tanah bersama jasad Igo. Kuhabiskan waktu berhari-hari di dalam kamar sepulangnya dari Bandung. Tidak peduli siang atau malam, mataku selalu terpaku pada satu arah: jendela kamar Igo. Berharap gorden merah muda yang kini menghiasinya―dengar-dengar sekarang kamar itu diisi anak perempuan sebaya Yogi―kembali menjadi kerai putih yang nyaris selalu terlipat, terutama di tengah hari. Berharap sekali saja, Igo membuka jendela kamarnya sambil menggerutu, "Iya, iyaaa! Ini aku udah bangun!" sebagaimana yang sering ia lakukan dulu.

Lupakan sekolah. Makan dan minum pun harus ibuku yang bolak-balik mengantarkan walau tak pernah kusentuh sampai hari berikutnya. Jangankan makan, untuk menangis saja aku sudah tidak berselera. Tidur hanya sebentar-sebentar, juga bukan pada waktu semestinya: malam hari. Bahkan, kadang tidak sama sekali.

Singkatnya, aku hidup, tapi mati.

Selama itu pula aku tak bersuara. Kontras dengan sunyinya kamar, benakku terlalu gaduh, jadi aku enggan menambah kegaduhan dengan turut membuka mulut. Keinginan untuk menyusul Igo pun tak sekali-dua kali hadir meramaikan. Sesatunya yang bisa kudengar, juga kuingat jelas hingga hari ini, adalah suara pelan ibuku ketika berkata, "Nanti, setelah kamu lulus, kita pindah rumah aja, ya, Rin?" sembari merebahkan kepalaku di bahu beliau.

Aku tidak bereaksi. Namun, bukan ibuku namanya kalau begitu saja bungkam.

"Yogi juga udah setuju." Diusapnya rambut kusutku dengan lembut. "Kita tinggalin seluruh kenangan buruk di rumah ini. Sedihnya kamu, sedihnya Mama, sedihnya Yogi, cukup sampai di sini aja. Kita mulai lagi hidup yang baru. Yang lebih banyak senyum dan ketawanya. Yang lebih banyak senang daripada susahnya." Sudut bibir ibuku tertarik lebar-lebar. "Nanti kamar kamu bakal jaaauh lebih besar daripada yang sekarang, deh. Oh, iya. Kamu pernah bilang, kan, mau punya laptop baru sama pen ... pen ... ah, pokoknya itu, deh, yang buat gambar di laptop! Nanti Mama beliin juga. Tapi, komputer bekas Papa sementara nggak usah dijual dulu, ya? Buat sewaktu-waktu kalo Yogi―"

Kusimak ucapan demi ucapan beliau dalam diam. Tidak ada isakan yang menginterupsi. Namun, sesekali, kudapati ibuku mengusap pipi. Jangan harap ibuku akan terang-terangan menunjukkan air mata karena satu-satunya kesempatan untukku melihat beliau menangis hanyalah di hari pengajuan gugatan cerai, itu pun hanya setitik-dua titik sebelum akhirnya kering lagi. Setegar itu. Sekuat itu.

Sayangnya, ketegaran beliau tak menurun padaku.

Jangan kira aku akan pulih setelah berhari-hari menyendiri. Pulih itu sesuatu yang tinggi sekali. Seperti tebing curam yang durasi memanjatnya berbeda bagi tiap-tiap orang. Sebagian cuma butuh hitungan hari. Sebagian lagi butuh waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Untukku, sampai hari ini pun, "pulih" masih terasa sangat jauh.

Ada satu waktu di mana aku kembali menggenggam pensil. Tangisan yang selama ini kusimpan tertuang lewat sketsa kasar. Kata-kata yang selama ini terendap di benak, tertumpah pula di kertas serupa. Kuakui, beban pikiranku sedikit berkurang sehabis melakukannya. Bisikan-bisikan yang menyuruhku mengakhiri hidup berangsur-angsur lenyap, seiring kesibukanku dalam menggambar.

Tidak heran bila kelima gambar seukuran kartu pos itu kusimpan, bahkan kugantung di atas meja belajar hingga bertahun-tahun setelahnya. Ibarat bayi yang sedang belajar berjalan, gambar-gambar itu adalah langkah pertamaku. Rekam jejak keberhasilanku "bangkit" di awal keterpurukan.

Hingga satu keputusan gegabahku menghancurkannya.

Aku kembali bersekolah dalam keadaan belum stabil. Setumpuk jadwal try out beserta tugas individual maupun kelompok menungguku. Namun, seolah ada kabut tebal yang menyelimuti otakku, tugas-tugas itu lebih banyak terbengkalai karena jangankan menyelesaikannya, memutuskan harus mengerjakan yang mana dulu saja aku kewalahan. Banyak materi pelajaran, yang dulunya kuanggap mudah sekalipun, mendadak lenyap begitu saja di otakku. Kemampuan berkonsentrasiku pun menurun drastis. Aku jadi jarang menyimak omongan orang, bahkan yang keluar dari mulut Yuki, apalagi membalas. Durasi yang kuhabiskan untuk merangkai kata-kata di pikiranku jauh lebih banyak daripada yang kuhabiskan untuk berucap. Malah, kalau benakku sedang penuh-penuhnya, yang kuhasilkan sekadar sahutan, "Hah?" atau, "Apa?" sampai membuat orang di sekitarku jengkel bukan main.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang