BERBANDING terbalik dengan nasi goreng yang hanya sanggup kusuap dua kali, bakul kecil di hadapanku kini kosong melompong. Butir-butiran nasi di centongnya bahkan kucomoti karena kepiting saus padang yang kamu pesankan masih bersisa. Sementara, di sampingku, kamu dan Rafli grasah-grusuh memperebutkan udang lada hitam dan helaian cah kangkung terakhir. Bikin malu! Kalau Mas Har, sih, tenang-tenang saja, sebab sebelum Abin menghabiskan cah kangkung jatah mereka dalam sekali hirup―saking sukanya, Abin tiap ketemu sayur tuh kayak kesurupan vacuum cleaner, main sedot saja―Mas Har sudah memindahkan setengahnya ke piring lain. Jadilah Abin terpaksa mengamankan beberapa lembar selada yang jadi alas ikan gurame bakar agar tetap bisa makan dengan nikmat.
Menyaksikan mereka makan seperti habis puasa tujuh hari berturut-turut, sulit kupercaya empat laki-laki yang semeja denganku ini―termasuk kamu, tentunya―mengaku telah mengisi perut dengan seporsi pecel ayam (betulan seporsi tidak, tuh?), kerak telor, juga gorengan selagi membuntutiku tadi.
"Abis ini lanjut ke pancong, yuk?" ajakmu, membuahkan pelototanku.
"ISTIGFAR, MAS! ISTIGFAR!"
Teringat akan iming-iming traktiran yang selalu kulagukan tiap kali meminta bantuan, kukeluarkan uang sesuai dengan jumlah yang tertera di nota. Dengan ini, utangku resmi lunas, ya!
Selepas mengucapkan terima kasih untuk kesejuta kali, Mas Har menuntun Abin, yang sudah setengah terlelap, keluar dari mobil. Rafli sudah masuk ke rumah duluan tanpa mematikan mesin mobil. Sakit perut, katanya. Lalu, kamu, sebagai orang yang dipercaya Rafli untuk melakukannya―dengar-dengar, sih, Fortuner kesayangan si kingkong memang harus didiamkan dulu sebelum mesinnya dimatikan―merengek minta kutunggui.
"Nggak bakal ada yang mau nyulik Mas Awan, kok! Rugi! Makannya banyak banget!" ledekku, sambil berlagak akan meninggalkanmu sendirian di halaman.
Kamu balas menyindir, "Tapi, kan, bukan aku yang tadi makan nasi sebakul sendiri."
Semula, begitu selesai mencabut kunci mobil, kusangka kamu akan langsung melesat ke kamar. Namun, kamu justru menduduki tembok teras sembari mengibas-ngibaskan kerah kaus.
"Mas nggak masuk?"
Telunjukmu mengacung. "Biasa."
Kutengok taburan bintang yang menjadi arah telunjukmu. Oh, iya. Satu lagi kebiasaan anehmu yang sampai hari ini belum bisa kumengerti: berlama-lama melihat langit. "Emang nggak ngantuk?"
Bahumu terangkat.
"Lagi ada yang dipikirin, ya?" tanyaku lagi. Setelah dipikir-pikir, daripada harus tertidur (itu pun kalau bisa!) dengan perut penuh, lebih baik aku menemanimu di sini. Hitung-hitung cari angin.
"Kamu."
"Mulai, deeeh," keluhku. Sok kebal, padahal aslinya hampir terjungkal dari tembok teras saking kagetnya. "Aku lagi nggak mood digombalin, ah."
Alismu menyatu. "Siapa juga yang ngegombal? Aku beneran lagi mikirin kamu, kok."
Kenapa, sih, aku belum juga terbiasa sama sikapmu yang satu ini?
Kubelokkan arah pembicaraan sebelum omonganmu melebar ke mana-mana dan berujung mencipta rona di wajahku. "Mas Awan kenapa, sih, suka banget ngeliatin langit malem-malem begini?"
"Kalo siang, panas."
"Bodo amat, Mas."
Kamu tertawa kecil. "Oke, ralat. Kalo siang, nggak ada bintangnya."
"Aku kunciin di luar, nih!" jeritku, dengan pose sudah akan meraih knop pintu.
Tawamu kian menjadi-jadi.
"Nggak tau. Suka aja. Karena udah terbiasa, kali, ya?" bebermu di tengah gelak. "Dulu, tiap lagi suntuk, banyak pikiran, atau pusing gara-gara kebanyakan belajar, aku suka duduk di meja belajarku, yang emang persis di depan jendela, buat ngeliatin langit gini. Kamar aku, kan, di lantai dua, jadi langit tuh bisa keliatan jelas. Eh, nggak taunya keterusan sampe sekarang."
Oh, kukira alasannya karena kamu masih saudaraan sama alien.
"Kamu juga kayaknya lagi banyak pikiran, Rin," terkamu, yang patut kuberi nilai seratus.
"Kentara banget, ya?" Aku mendongak, memusatkan fokus pada lengkungan bulan sabit di atas sana. "Aku ... sejak ketemu Mas Leo lagi, tuh ... jadi sering inget-inget masa lalu."
Kendati tak menoleh, aku bisa merasakan kalau pandanganmu kini tertuju sepenuhnya padaku.
"Tiga tahun lalu, nggak lama setelah Igo meninggal, aku pernah nyoba bunuh diri," akuku lamat-lamat. Khawatir kamu akan bereaksi berlebihan, atau malah semakin diliputi rasa bersalah, kububuhi pengakuan itu dengan senyuman lebar. Seolah yang kuceritakan seremeh angin lalu. Seolah masalah yang kualami seringan bulu. "Untungnya nggak berhasil, sih. Soalnya, kalo berhasil, aku nggak akan tau kalo selama ini ... yang aku rasain, tuh, bukan apa-apa."
Lain dari sebelumnya, tidak ada tepukan ringan yang singgah di bahuku. Tidak ada sisipan jarimu di antara jari-jariku. Tidak ada pula elusan lembut yang biasa kamu jatuhkan di puncak kepalaku.
Kamu beku.
"Selama ini aku pikir aku, tuh, orang yang paling menderita setelah kehilangan Igo, tapi ternyata, dibanding Mas Leo ... yang aku rasain, tuh, beneran bukan apa-apa." Kulirik cemas matamu yang memerah. Betapapun seriusnya kamu menyimak ceritaku, tidak mungkin sampai lupa berkedip, kan? "Kalo dibandingin sama yang Mas Leo rasain, buat sedih aja kayaknya aku nggak berhak."
Palingan wajahmu lekas membuat tatapanku berpindah. Pada bahumu mulai yang berguncang pelan. Pada urat-urat di punggung tanganmu yang bertonjolan saking kuatnya mengepal.
"Kamu pikir kesedihan itu kompetisi? Perlombaan?" Kamu tetap berpaling saat memprotes. Sumpah, belum pernah kulihat kamu seperti ini. "Nggak ada yang lebih unggul dari rasa sedih kamu dan rasa sedih Leo, Rin. Toh, keduanya sama-sama nyata. Sama-sama nggak boleh disepelekan."
Apa, sih, yang menyebabkanmu menghindari tatapanku?
"Lagipula, setiap orang, kan, nggak cuma berhak bahagia. Berhak juga merasa sedih, marah, kecewa," sambungmu. "Coba bayangin, selama puluhan tahun hidup, kamu cuma boleh senyum dan ketawa. Nggak boleh nangis, ngomel, apalagi ngeluh. Apa nggak mau gila rasanya?"
Aku mengangguk-angguk meski tahu kamu takkan menyaksikan.
"Kamu ... nggak mau tanya apa-apa soal Virgo ke aku?"
Pergantian topikmu yang terlalu tiba-tiba itu kutanggapi dengan kekehan. "Buat apa juga? Nggak bakal bikin Igo balik lagi ke sini, kan?" selorohku, sewaktu mata kita―akhirnyaaa!―kembali bertemu.
Jakunmu naik turun. "Leo ... Leo pasti udah ngomong banyak ke kamu, ya?"
"Mas Leo nggak ngomong apa-apa, kok." Sudut bibirku tertarik tipis-tipis. Bukan sepenuhnya bohong, sih. Toh, selain menuduhmu sebagai pembunuh, Leo tidak mengatakan apa-apa lagi tentangmu.
Namun, salah besar bila kuduga kamu juga akan ikut tersenyum.
"Kalo Virgo masih ada ... yang ada di sebelah kamu sekarang ... bukan aku, kan?"
Karena kamu, yang selalu secerah gumpalan awan, justru berubah kelabu.
Dengan kepala tertunduk, kamu menyambar sepasang tanganku. "Aku tau, permintaan maaf sebanyak apa pun nggak akan cukup, tapi ...." Setitik air dari pelupuk matamu menimpa punggung tanganku. Dan, semakin lama, semakin deras. "Maaf, ya, Rin."
Hujan pertamamu kuresapi dalam diam lantaran aku kebingungan memutuskan sikap. Selama ini, kamu selalu tahu bagaimana cara menenangkanku. Namun, akankah aku mampu menenangkanmu dengan cara serupa? Akankah hujanmu, sepertiku, mereda hanya dengan satu peluk?
"Maaf ...."
Tapi, kalau tidak mencoba, aku takkan tahu hasilnya, bukan?
Berhubung kedua tanganku masih dikuasaimu, kudaratkan dagu lebih dulu pada pundakmu yang gemetaran. Kubiarkan hujanmu mengguyur ceruk leherku sambil sesekali menggigit bibir. Sepertinya, sebagaimana aku tidak bisa menerima ucapan terima kasih dari Leo, aku juga takkan bisa menerima permintaan maafmu begitu saja. Sebab aku tidak melakukan apa pun.
Sebab kamu, juga tidak melakukan apa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.