14

334 50 49
                                    

SEBAGAI "pekerja lepas" yang separuh kehidupannya habis di dalam rumah, sudah tentu aku jarang sekali berdandan. Pakaian kebangsaanku pun itu-itu saja: kaus, jaket, celana pendek, juga sesekali tank top (ini, sih, hanya kugunakan kalau kamarku sedang terkunci rapat). Prinsipku: untuk apa repot-repot berpakaian rapi dan memulas wajah jika pemandanganku sehari-hari cuma sebatas keluarga serta segelintir lelaki tak potensial?

Makanya, aku sama sekali tidak heran saat pujianmu―bagaimanapun juga pengetahuanku soal make up dan mode tidak jeblok-jeblok amat, cuma pengaplikasiannya saja terhitung langka―terlontar sepulangnya dari pernikahan Mbak Shinta, "Kamu cantik banget hari ini, Rin. Sayang kalo nggak difoto."

Hanya saja, aku tidak pernah menyangka efeknya akan seluar biasa ini.

Semisal yang bicara itu Abin atau Mas Har (Rafli, sih, tidak mungkin, ya?), aku pasti segera menyangkal, "Maksudnya selain hari ini aku jelek, gitu?" dilengkapi pelototan dan kacakan pinggang. Namun, karena kamu ... karena asalnya dari kamu ... pujian seklise itu pun terdengar spesial.

Tunggu, kenapa juga harus spesial?

Apa lantaran ini kali pertama kamu buka mulut soal penampilanku? Maksudku, kamu bukan jenis orang yang suka mengomentari kulit luar seseorang, jadi ketika kamu melakukannya, tentu saja terasa janggal. Toh, selama ini aku juga tipe yang enggan memikirkan pendapat orang sekitar.

Tapi, kalau cuma itu masalahnya ... kenapa tiap kali membayangkannya senyumku tak kunjung pudar, bahkan setelah hitungan hari?

"Aduh, sadar! Sadar!" Tak cukup sekadar menepuk, kutampar kedua pipiku secara bergantian hingga sedikit memanas. Sontak kurogoh cermin di tas untuk mengecek apakah sapuan bedakku masih utuh atau tidak. Oke, Arin, ini bukan saat yang tepat untuk bertingkah gila. Kurang dari satu jam lagi, aku harus menghadiri rapat konsep―satu lagi kegiatan yang memaksaku bersolek selain undangan pernikahan―di kantor dan kuharap semua berjalan lancar hingga aku tidak perlu berlama-lama di sana.

Jadi, agar bisa berkonsentrasi penuh, kata "cantik" beserta segala konco-konconya yang terngiang di telingaku harus segera musnah!

"Mau ke mana?"

Tuh, kan? Dengan riasan sesederhana ini saja, Rafli yang biasanya tak acuh dengan segala urusanku pun turut menaruh perhatian, apalagi kamu? Lupakan soal fitur wajah, yang sebenarnya kamu puji tempo hari itu kemampuanku dalam merias, kan? Aku tidak perlu menganggapnya spesial, kan? Iya, kaaan?

"Ngantor." Aku baru menyahut setelah sadar pertanyaan bodoh di benakku tak butuh jawaban. "Lo sendiri? Ke mana aja beberapa hari ini? Kok baru nongol?"

Bukannya menanggapi interogasiku, Rafli justru mengeluarkan kunci mobilnya. "Gue anter, ya?"

"Tumben banget?"

"Masih daerah Jagakarsa, kan?" tegas si kingkong. "Gue juga ada urusan di sekitaran situ."

Kutatap wajah Rafli lekat-lekat sebelum mengambil keputusan. Hmmm, dari gelagatnya, sih, dia serius ingin mengantarku. Tapi, sekali lagi, ini si kingkong, lho! Musuh sejatiku! Bukan mustahil kalau di tengah perjalanan nanti dia mendadak menendangku keluar dari mobilnya, kan?

"Mau nggak?"

Sudahlah. Kalaupun Rafli nekat melakukannya, sepulang dari rapat aku bisa menendangnya juga dari rumahku. "Boleh, deh. Nggak pake mandi dulu, kan? Gue udah harus berangkat sekarang soalnya."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang