10

229 52 10
                                    

SELALU ada garis final bagi setiap pelarian. Aku, yang malam itu sedang dijadikan kelinci percobaan untuk masker mata―disertai servis pijat dan kuliah gratis seputar bahaya kurang tidur, seperti biasa―teranyar milik Mas Har, berhasil dibuat terkesiap olehmu.

“Mas Har,” suaramu terdengar ragu saat mengatakannya, “boleh pinjem Arin sebentar, nggak?”

Seingatku, aku sempat percaya bahwa Mas Har tidak akan menyerahkan kelinci percobaannya semudah itu, tapi ternyata …

“Boleh, dong!”

... memercayai seorang Haryo Wibowo adalah hal terkonyol yang pernah kulakukan sepanjang hidupku.

Kamu tersenyum simpul. “Makasih, ya, Mas.”

Sebelum terbelenggu cekalanmu, kusempatkan untuk mencabut helaian masker di bawah mataku, lalu melemparkannya ke wajah Mas Har. Rasakan! Memang cuma dia yang bisa mencampakkan orang sesukanya?

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi nggak di sini,” bisikmu di sela-sela tuntunan, membuatku sadar bahwa lemparan masker bekas pakai saja tidak cukup untuk menghukum Mas Har. Selepasnya dari cengkeramanmu nanti, hidup atau mati, aku harus merencanakan siasat balas dendam yang lebih kejam! “Ikut aku.”

Siapa juga yang bisa menjamin aku masih hidup setelah “diculik” oleh seorang pembunuh?

Yah, salahku juga tidak membeberkan fakta mengerikan itu pada siapa pun. Jujur saja, aku benar-benar takut. Tiap kali aku bertekad untuk melaporkannya, terbayang serangan membabi buta yang biasa muncul pada film-film thriller kesukaan Rafli (jangan tanya kenapa aku bisa tahu selera si kingkong, pokoknya jangan!) dilakukan olehmu. Mau tak mau, kusimpan rahasia gilamu serapi mungkin.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba pada tujuanmu: balkon. Sungguh tempat strategis untuk mencegahku kabur darimu. Kemudian, disaksikan seragam sekolah Yogi yang tersampir di jemuran alumunium, kamu menghempas pergelangan tanganku. “Kenapa kamu menghindar setiap kali ketemu aku?”

Oh, dialog manis sebelum memulai baku hantam.

“Kamu marah sama aku?” imbuhmu, sementara aku sibuk mencari barang-barang di sekitar yang bisa kujadikan senjata untuk menyerangmu. “Ada sikap atau perbuatan aku yang bikin kamu sebel sama aku?”

Sumpah, kalau semua perkataanmu sebatas akting, seharusnya kamu jadi aktor.

Bukan pembunuh.

“Rin, please, jawab. Aku beneran nggak inget pernah bikin salah sama kamu.”

Aduuuh! Jangan pura-pura memelas begitu, deh! Memang kamu pikir tatapanmu bisa bikin aku kembali luluh?

“Oke, karena kamu tetap diam, pokoknya apa pun salahku, aku minta maaf.” Tapak tanganmu kembali membungkus lenganku. Bukan hanya satu, namun keduanya sekaligus. “Maaf, Rin.”

Merasa sudah tidak ada harapan untuk kabur, kuputuskan untuk berdoa―pun bersumpah serapah―dalam hati. Kumohon, meskipun langit masih dipenuhi bintang, meskipun bulan masih bersinar terang, aku sungguh berharap sambaran petir sekonyong-konyong menghunjam kepalamu.

"Maaf."

Kamu benar-benar berengsek!

“Jangan minta maaf sama aku!” Entah kekuatan dari mana, dalam satu kali sentakan, genggamanmu terlepas. Terima kasih, Tuhan! “Minta maaf sana sama keluarga, kerabat, dan teman-teman orang yang udah Mas hilangin nyawanya!”

Serupa mulutmu yang ternganga, matamu pun ikut terbelalak. Duh, kalau boleh jujur, jangankan kamu. Aku sendiri juga terkejut mendapati lidahku mendadak lentur.

“Kamu ... udah tau?”

Kok bisa, ya, aku seberani itu?

“Iya, Rin?” Kamu masih berusaha memperoleh konfirmasi dariku. Refleks, aku melangkah mundur―hal yang semestinya kulakukan sedari tadi. “Kamu udah tau?”

Benturan punggungku pada railing balkon menjadi akhir dari usaha pelarianku. Sambil menarik napas dalam-dalam, setengah mati aku berusaha terlihat tenang di matamu. “Kenapa kalo aku udah tau? Mas mau bungkam aku? Mas mau ngancem aku? Mas mau―”

Bukan sahutan, yang menjadi jawaban atas pertanyaanku justru sebuah pelukan.

Erat dan hangat.

“Aku lega, Rin. Legaaa banget.”

Bisa kurasakan getaran tubuhmu kala berucap. Namun, kuputuskan untuk tetap waspada. Siapa tahu di belakang punggungku ternyata ada sebilah pisau yang siap menikam kapan pun kamu mau?

“Aku lega udah nyeritain masalah terberatku ke orang yang tepat.”

Tidak, tidak mungkin ….

“Makasih, ya, Rin.”

Betapapun pelupanya kamu, tidak mungkin kamu lupa pernah membagi rahasia gilamu padaku.

“Makasih banget.”

Ah .... Kok tiba-tiba aku mengantuk, ya?

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang