35

158 28 21
                                    

SETITIK air membasahi touchpad netbook-ku. Pergelangan tanganku tergerak untuk menyeka, tapi belum-belum kering, setitik lagi air kembali membasahinya. Detik inilah aku tersadar, bidang datar itu takkan pernah kering jika bukan muara airnya yang kuseka. Yakni, sepasang mataku yang kupaksa memelototi kanvas kosong Photoshop demi bisa melupakan kejadian berjam-jam lalu.

"NGAPAIN LO DI SINI, HAH?" Hardikan Leo, juga suara berdebum yang dihasilkan saat kamu jatuh, kembali bergema di telingaku. "NGGAK PUAS LO UDAH NGANCURIN HIDUP GUE?"

Kamu membatu. Tak membalas kata-kata, juga kepalan tangan Leo yang menghantam wajah dan perutmu untuk kedua, ketiga .... Aku bergidik mengingat-ingat jumlahnya.

Aku sudah akan melerai ketika ibuku datang dan lekas memanggil-manggil Abin―sebagai satu lagi lelaki yang tersisa di rumah―untuk membantu beliau memisahkan kalian. Beruntung, meski agak kewalahan, Abin dapat mengunci gerak Leo dari belakang sementara ibuku menolongmu bangkit.

Leo tampak kesulitan melepaskan diri dari cekalan Abin. Ibuku pun menjauhkanmu dari mereka. "Sebenernya ada apa ini, Leo? Emang Nak Awan salah apa sama kamu sampe harus dipukulin begitu?"

"DIA YANG UDAH BUNUH IGO, BU!"

Hanya sampai di situ. Yang kudengar dan mampu kuingat hanya sampai di situ.

Pandanganku memburam, ditutupi embun yang siap meloncat saat suara ketukan pintu tersiar. Cepat-cepat kupalingkan wajah ke layar netbook begitu kamu masuk. "Mas ngapain ke sini?"

"Kamu denger omongan Leo tadi?" tanyamu, di belakang sana.

Aku berlagak mewarnai kanvas Photoshop. "Aku nggak denger apa-apa."

"Bohong." Kamu menukas. Apa nada santaiku saat menjawab terdengar sangat palsu? Atau, tampang kacauku sekarang terpantul dari layar netbook? "Kamu bohong, kan, Rin?"

"Aku beneran nggak denger apa-apa!"

Bentakanku mungkin mengejutkanmu hingga tidak sanggup berkata-kata. Kuselipkan "mungkin" lantaran aku benar-benar tak bisa menyaksikan ekspresimu kala mendengarnya.

"Kalo Mas Awan ke sini cuma untuk bahas itu, mending Mas keluar aja sekarang. Aku sibuk," tambahku ketus. Selanjutnya, kamarku hanya diisi suara klikan mouse sebab kamu enggan bereaksi.

"Kamu ... nggak tidur?"

Retorikamu baru tercetus beberapa jenak kemudian. Refleks, kulirik angka 03.27 yang tertera di sudut bawah layar netbook. Ah, sudah hampir pagi, rupanya. "Duluan aja."

"Rin."

Aku masih bersikukuh mengeklik mouse kendati tak punya tujuan. "Apa lagi, sih?"

"Tidur," pintamu lirih. "Tidur, Rin."

Gerakan mouse-ku sontak terhenti.

"Kamu bisa, kan?" Tapak tanganmu yang dingin menyelimuti punggung tanganku. "Bisa, kan, Rin?"

Lekas kutatap matamu dalam-dalam. Kenapa ... kenapa kamu belum juga mengerti?

Bagiku, setiap pejaman adalah kesiapan.

Kesiapan untuk dibuang.

Kesiapan untuk ditinggalkan.

Kesiapan untuk ditelan penyesalan.

Karena setelah kupejamkan mata, Papa menyetujui gugatan cerai Mama dan memilih pergi bersama wanita simpanannya. Karena setelah kupejamkan mata, Igo lenyap dari muka bumi, tanpa bisa kutemui kembali. Karena setelah kupejamkan mata ... pasti akan ada seonggok sesal yang menungguku, lagi.

Untuk itu, aku takkan pernah siap.

"Kenapa sih, Rin ...." Kamu membungkuk, untuk bisa membenamkan wajahku dalam rengkuhanmu. "Kenapa cuma gara-gara satu orang, hidup kita jadi berantakan kayak begini?"

"Aku ... Igo ...."

"Maaf, Rin." Suaramu amat parau saat mengatakannya. "Maaf, aku udah bikin kamu kehilangan orang yang paling kamu sayang. Kamu boleh pukul aku sepuasnya. Kamu boleh maki aku sesuka hati kamu. Tapi, aku mohon ...." Ada jeda sejenak untukmu mengambil napas. "Jangan benci aku, ya, Rin."

Gelenganku kembali hadir sebagai jawaban. Apa gunanya membencimu? Semisal aku harus melakukannya pun, yang pertama kali kubenci pastilah diriku sendiri. Aku, si pembual yang bahkan tak berada di sisi Igo pada saat-saat terakhirnya. Aku, si pengecut yang selalu berusaha meniadakan semua kenangan tentang Igo, tanpa pernah memikirkan perasaannya hingga kini.

Aku, si bodoh yang tak mampu bangkit meskipun telah bertahun-tahun jatuh.

Kamu sama sekali tidak terlibat. Kamu hanya figuran yang sekelebat menghiasi layar, tanpa memberi esensi pada kisah kami. Namun, mengapa kamu bersikeras mengaku sebagai antagonis yang mengacaukan semuanya?

Tanpa campur tanganmu, Igo akan tetap memilih barang haram itu ketimbang aku.

Tanpa campur tanganmu, Igo akan tetap meninggalkanku, cepat atau lambat.

Namun, tanpa campur tanganmu, keresahan yang bertahun-tahun menghantuiku sepeninggal Igo takkan berkurang sedrastis ini.

"Mas ...."

Kamu benar-benar Awan, si lembut yang meneduhkan.

"Ya?" balasmu.

"Aku nggak benci Mas Awan." Aku lagi-lagi berbisik. "Tapi, apa boleh ... malam ini aja ...."

Kurasakan rengkuhmu kian erat, membuatku harus menelan kembali kata-kata yang telah berada di ujung lidah. Sepasang mataku mulai terpejam, tetapi kembali terjaga saat tanganmu perlahan naik, mencapai puncak kepalaku. Memberiku usapan pelan yang kelewat menghipnotis.

"Kalo itu bisa menghapus kesalahan aku ...." Sayup-sayup kudengar gumamanmu. "Kapan pun, Rin."

Virgo Agustian mungkin tak lagi di sampingku. Namun, sebagai gantinya, Tuhan berikan Awan yang senantiasa mengiringiku.

Senantiasa teduhkanku.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang