MIMPIKU kali ini sungguh aneh. Kamu, berbantalkan satu tangan, terbaring di sampingku, sementara tangan sisanya bertaut di tanganku. Tiada dengkuran karena kamu sepenuhnya terjaga, memandangi langit-langit kamarku yang entah apa menariknya. Lekas kueratkan genggaman kita, yang ajaibnya, bisa terasa sebegini hangat meski tidak nyata. Genggaman itu pula yang membuatmu menoleh padaku, berbonus senyuman tipis tatkala kamu menyapa, "Pagi, Rin."
Enggan membalas sapaanmu―toh, ini cuma mimpi―kuloloskan tarikan bibir sebagai gantinya.
"Eh, sori." Kamu melepaskan genggaman kita, kemudian melirik si Tweety yang tergantung di dinding. Jarum pendek mengarah ke angka sembilan, sedangkan jarum panjang ke angka ... berapa, sih, itu? Empat atau lima? "Ini, sih, hitungannya udah bukan pagi, ya?"
Kuusap mata demi bisa melihat jelas arah jarum panjang jam. Tunggu, kalau ini betulan mimpi, kenapa bisa ada kotoran yang menggumpal di sudut mataku? Kenapa juga rembesan cahaya dari ventilasi dapat kurasakan panasnya? Kenapa ... kenapa bisa ada getaran di kasurku saat kamu bangkit?
"Semalam itu, aku ...."
Gawat, ternyata ini bukan mimpi.
"Mas semalaman di sini?" potongku, dengan telunjuk menghadap ke bawah: kasur berseprai putih yang sekarang ini kita duduki. Kamu cepat-cepat mengangguk. "Di sini?"
Sebagaimana tanyaku yang berulang, responsmu pun tetap berupa anggukan. Hanya saja lebih singkat lantaran sesudahnya kamu balik bertanya. "Kamu ... selama ini selalu kayak gitu?"
Aku tertunduk. Jika yang kamu maksud "kayak gitu" itu terjaga sepanjang malam atau malah tidur, tetapi sebentar-sebentar terbangun karena mimpi buruk, jawabannya tentu saja "iya".
"Sejak kapan?" tambahmu lirih.
"Sejak Igo ...." Kugigit bibir di sela-sela jawaban. "Sejak pulang dari pemakaman Igo."
Perubahan sorot matamu kini begitu sulit kumaknai. Iba? Terkejut?
Atau, merasa bersalah?
"Harusnya aku nggak tidur malam itu ...," imbuhku sambil mencengkeram seprai kuat-kuat. Seandainya bisa, ingin sekali kucabik kain sewarna awan ini selagi memberimu penjelasan. "Kalo aku nggak tidur, aku pasti bisa mencegah Papa pergi dari rumah. Kalo aku nggak tidur, aku pasti bisa mencegah Igo buat pindah, atau pulang ke Bandung, dan ...."
Kamu meremas bahuku yang mulai berguncang.
"Aku takut .... Aku belum siap kehilangan siapa-siapa lagi."
Remasanmu lebur menjadi tepukan ringan yang tak kalah menenangkan. Seolah aku serapuh cangkang telur. Seolah kamu sekeras permukaan lantai yang dalam sekejap mampu menghancurkanku.
"Rin," panggilmu sekonyong-konyong, "kamu pernah makan buah duku?"
Pertanyaan konyolmu itu kutanggapi dengan kerutan dahi.
"Yang namanya hidup, tuh, kayak lagi makan buah duku. Kadang asem. Kadang manis. Kadang juga pahit, kalo nggak sengaja kegigit bijinya." Kamu selipkan geraian rambutku ke belakang telinga di tengah nasihat. "Tapi, apa harus, ya, gara-gara satu biji pahit itu, kamu jadi kapok makan duku lagi?"
Aku kian tertunduk. Menolak pertemuan mata kita.
"Itu bukan salah kamu," lanjutmu lagi, sembari menangkup satu pipiku. Membuatku terpaksa membalas tatapanmu yang berubah sendu. "Mau kamu tidur atau begadang semalaman pun, kalo memang udah takdirnya mereka ninggalin kamu, ya mereka akan tetap ninggalin kamu." Bukan lagi sekadar menangkup, ibu jarimu perlahan menyapu pipiku. "Toh sejak awal, baik papa kamu maupun Igo, diberi pilihan untuk pergi atau tetap bersama kamu."
"Dan mereka milih pergi, ninggalin aku," tandasku.
Kamu menggeleng. "Kalaupun ada yang harus disalahkan, ya salahkan pilihan mereka, lah."
Aku bersikeras menyanggah, "Nggak, itu semua tuh tetap―"
"Rin," suaramu menegas, "percaya sama aku. Itu bukan salah kamu."
Ketegasan itu pula yang menyurutkan niatku untuk berkilah. Apanya yang bukan salahku? Jelas-jelas semua kehilangan itu terjadi setelah aku tidur. Tidak menutup kemungkinan jika sewaktu-waktu aku tidur di jam serupa, aku akan kembali kehilangan seseorang yang berharga bagiku.
Seseorang yang terlampau berarti bagiku.
Telunjukmu mengetuk-ngetuk punggung tanganku. Disusul tanya, "Kamu perlu bukti?"
"Mas bisa buktiin?" tantangku.
"Bisa," sahutmu cepat. "Aku buktinya."
Aku ternganga. Belum-belum kulepaskan kata "hah?" seperti yang sudah-sudah, kamu sisipkan kelima jarimu di celah-celah jariku. Erat. Rekat. Kuat. Sangat kontras dengan volume suaramu yang merendah. "Kalau dengan tidur kamu bakal kehilangan seseorang yang berharga buat kamu, seseorang yang terakhir kamu lihat menjelang tidur, aku nggak mungkin ada di sini. Di depan kamu."
Tidak terhitung berapa banyak kata yang kutelan saat kamu menatapku lekat-lekat. Napasku pun ikut tertahan manakala wajahmu mendekat. Namun, alih-alih kecupan, yang kudapat sebatas ujaran, "Sama kayak papa kamu dan Igo, aku juga diberi pilihan untuk pergi atau tetap bersama kamu."
Senyummu merekah. Cerah. Indah.
"Dan, aku pilih tetap bersama kamu."
Aku kalah.
Entah sudah semerah apa wajahku kini. Kepiting rebus? Tomat? Stroberi? Yang jelas, aku takkan tahu sebelum memastikannya sendiri pada cermin di belakangmu. Hanya saja, keinginanku untuk bercermin seketika batal begitu kupergoki warna yang sama menghiasi sekujur wajahmu.
Warna yang semestinya hanya menghiasi wajahku.
"Ah, ngomong-ngomong, udah jam berapa, ya, ini?" Kuterka, karena tak betah kupandangi lama-lama, kamu berpaling ke si Tweety lagi. Setelahnya, kamu justru terlonjak. "Hah? Jam sepuluh kurang lima? Duh, aku balik ke kamar dulu, ya, Rin! Aku lupa ada janji sama editorku lima menit lagi!"
Tanpa menunggu izin dariku, kamu melompat dari kasur dan lekas mengambil langkah seribu.
"Mas Awan," panggilku, saat kamu sudah menggapai knop pintu. Kedua alismu pun kontan terangkat. "Emang aku pernah bilang, ya, kalo Mas itu orang yang berharga buat aku?"
Kamu tertawa, seolah tahu jawabannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.