32

154 25 2
                                    

SUARA kucuran air disusul sentuhan basah nan hangat di pipi mengakhiri pejaman mataku. Pulasan warna putih gading khas plafon kamarku menjadi hal pertama yang kulihat. Barulah setelahnya kamu, dengan handuk mungil di tangan, samar-samar mulai tertangkap pandanganku.

Tunggu, bukankah seharusnya aku masih ....

"Eh, udah bangun?" sapamu lembut, sambil menyampirkan handuk di bibir baskom.

Aku mengerjap-ngerjap―jujur saja, mataku terasa panas saat melakukannya―sebelum akhirnya berusaha bangkit. Lalu, seolah tahu aku masih terlalu lunglai untuk bisa duduk dengan tegak, kamu menyisipkan bantal di antara punggungku dan sandaran kasur.

"Minum dulu, ya?" Kamu menyodorkan segelas air, yang entah kapan diambilnya, padaku. Dan, bukannya membiarkanku minum dengan tenteram, kamu justru bertanya. "Mau makan, nggak? Tadi Ibu bikin bubur kacang ijo, tuh. Kata Ibu, kamu kalo lagi demam begini nggak mau makan nasi, kan?"

Aku mengangguk pelan.

Tak butuh waktu lama untukmu membawakanku semangkuk bubur kacang hijau. Selagi menyerahkannya padaku, sempat-sempatnya kamu menawarkan bantuan, "Mau aku suapin?"

Cepat-cepat kutolak tawaranmu dengan gelengan.

"Abis ini mau minum obat, nggak?"

Aku menggeleng lagi. "Udah enakan, kok. Makasih, ya."

"Bagus, deh." Kamu tersenyum tipis sebelum bercerita. "Semalem, tuh, aku sampe debat sama Ibu, tau, gara-gara dilarang ngasih kamu obat penurun panas. Kata Ibu, kamu, tuh, nggak boleh sering-sering minum obat, jadi ...." Punggung tanganmu singgah sejenak di pipi dan tengkukku. "Yah, yang penting sekarang udah mendingan, kan?"

Tarikan bibirmu lekas menular padaku.

"Ngomong-ngomong, semalem gimana? Pasti seru banget, ya, bisa ngumpul sama temen-temen lama?"

Pertanyaanmu seketika melunturkan senyumku. Duh, berarti semalam itu bukan mimpi. "Seru apanya? Yang ada aku tertekan, kali, harus terjebak seruangan sama orang-orang kayak gitu."

"Bentar, 'orang-orang kayak gitu'?" ulangmu skeptis, yang segera kusambut dengan mengangkat alis. "Kamu, tuh, ya, nggak bisa apa bermulut manis dikit? Temen-temenmu, lho, itu."

Ogah diceramahi lebih lama, kuputuskan untuk berlagak menimbang-nimbang. "Gimana, ya ...."

"Gimana apanya?"

"Buat sesaat, aku seneng, sih," akuku.

Ya, sebelum celetukan-celetukan sinis itu menyerangku, sebelum bayang-bayang itu kembali menghantuiku, kuakui aku sempat merasakan kesenangan meski tak bertahan lama.

"Mas Awan," panggilku, sesudah menandaskan suapan terakhir bubur kacang hijau.

"Ya?"

"Mas Awan pernah nggak, ngalamin halusinasi?" tanyaku pelan. "Aku, ng ...." Sedikit keraguan menyusup sewaktu aku hendak melanjutkan ucapan. "Ini bukan pertama kalinya aku ngerasa lihat seseorang yang seharusnya nggak pernah aku lihat lagi, tapi ... kayaknya yang ini, tuh, beda. Serasa nyata."

Terlalu nyata, malah.

"Kapan terakhir kali kamu ngalamin itu?" Di luar dugaan, kamu menanggapiku dengan tanya yang tidak kalah lembut. Mengingatkanku pada sesi-sesi konseling yang pernah kujalani dulu.

Aku bisu sejenak. Lupa kapan persisnya. Yang jelas, terakhir kali mengalaminya, aku terlibat kecelakaan hingga motor kesayanganku ringsek dan harus menginap berhari-hari di bengkel Rafli. Sejak saat itulah aku tak diperbolehkan ibuku mengendarai motor, pun berkeliaran seorang diri lagi. "Sekitar satu atau dua tahun lalu, terus baru tadi malem kejadian lagi. Kira-kira aku kenapa, ya, Mas?"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang