REMBESAN terik dari ventilasi menggelitik kelopak mataku tanpa ampun. Maka, tidak ada pilihan selain membukanya perlahan.
Duh! Pukul berapa, sih, ini? Kok silau banget?
Pandanganku lantas jatuh pada jam bergambar Tweety―hadiah dari Abin yang bersikeras kalau burung kuning itu berjenis kelamin betina dan mirip denganku―yang bergantung di dinding kamar. Berkali-kali aku mengerjap, memastikan angka yang ditunjuk kedua jarumnya bukan ilusi semata. Namun, hasilnya tetaplah sama.
Pukul setengah tujuh!
"ARIIINNN!!!" Pekikan ibuku tahu-tahu menggelegar ke seisi rumah. "KAMU KOK DIPANGGIL DARI TADI NGGAK NYAHUT-NYAHUT, SIH? LAGI ADA DEADLINE APA SENGAJA NGGAK MAU BANTUIN MAMA?!"
Mustahil ....
"ARIIINNN!!!" Ibuku tampaknya masih berusaha merusak pagi yang kelewat sakral ini. Terbukti, bukan hanya berteriak, knop pintu kamarku pun mulai diputarnya. "KAMU TUH, YA, KALO ORANG TUA MANGGIL―"
Mustahil aku bisa tidur semalam suntuk tanpa gangguan berarti.
"Rin, kamu ...." Volume suara ibuku anjlok serendah-rendahnya begitu melihatku masih berbalut selimut di kasur. Sama sepertiku, beliau juga dirundung gemap karenanya. "Kamu?"
Hanya anggukan yang bisa kuberikan sebagai jawaban.
"Kok bisa?" Bibir ibuku bergetar saat menanyakannya, selaras dengan bahuku yang mulai berguncang. "Kamu minum obat tidur lagi? Iya? Ya ampun, Rin, kan Mama udah bilang. Obat tidur, tuh, cuma boleh kamu―"
Aku cepat-cepat menggeleng.
"Kamu makan apa semalem?" tanyanya lagi. Tangan beliau kini menjamah pipi dan dahiku. "Kamu sakit? Demam? Ah, tapi nggak panas ... atau, semalem kamu olahraga?"
Sedikit demi sedikit, kucoba mengingat apa yang kulakukan malam tadi. Aku tidak punya banyak tenaga untuk berolahraga, tidak juga memakan sesuatu yang aneh menjelang tidur ....
Sebentar, ini gawat.
"Rin?"
Sesatunya hal yang bisa kuingat ialah hangatnya dekapanmu.
***
Mata ibuku masih memerah saat Mas Har dan Abin berebut menyalaminya. "Ibu nggak apa-apa, kok, Bin, Yo. Nggak usah khawatir. Tadi cuma kelilipan pas di kamarnya Arin. Dia jarang nyapu soalnya, jadi banyak debu."
"Ih,! Nggak, kok! Kamar aku seratus persen bersih, sih, sih!" jeritku tak terima, sebelum melahap potongan kue cucur terakhir di piring. "Mas Har sama Abin hati-hati di jalan, yaaa! Yang rajin kerjanya! Jangan lupa kalo nemu duit jatuh langsung aja dipungut! Nggak baik nolak rezeki!"
"Hush. Kamu, tuh, kalo ngomong suka ngaco."
Kubalas cibiran ibuku dengan juluran lidah. Oh, berkat tidur malamku yang―sangat, sangat, dan sangaaat―berkualitas, suasana hatiku tidak lagi seburuk biasa. Rasanya aku harus mempertimbangkan untuk berterima kasih padamu (itu juga kalau aku berani!) atau bahkan tidak sama sekali.
"Bener, nih, Ibu nggak apa-apa ditinggal? Har bisa ambil libur, kok, kalo Ibu mau ditemenin curhat," tawar Mas Har, tanpa memedulikan cara berpamitanku yang absurd itu. Harus kuakui, keakrabannya dengan ibuku terkadang membuatku iri. "Arin juga, tuh, kayaknya harus cerita sesuatu tentang semalem."
Keningku kontan berlipat. "Cerita apa, ya?"
"Kamu ngapain aja sama si Awan sampe ketiduran di balkon?" Mas Har berkacak pinggang selagi menanyakannya. "Padahal pas nyuruh kalian pedekate, tuh, Mas cuma bercanda. Eh, bisa-bisanya kejadian beneran!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.