27

276 42 8
                                    

SEMILIR angin malam tidak menyurutkan niatku untuk menjejaki lantai balkon. Sambil sesekali menggigil, korek gas yang sedari tadi tersimpan di saku celana mulai kupantik, agar bisa membakar habis gambar lawas yang tempo hari gagal kumusnahkan ini. Lalu, tidak sampai semenit, kertas A4 itu pun menjelma abu. Yang setelahnya beterbangan tanpa sempat berserak di permukaan lantai.

Namun, sialnya, gundahku tidak serta-merta lenyap sebagaimana yang kuperkirakan.

Masih ada lima gambar―kesemuanya berukuran kartu pos―lagi yang harus kubakar. Tiga di antaranya kini menghangus sedikit demi sedikit, sementara dua lembar yang tersisa senantiasa terkurung dalam capitanku. Satu bergambar tangan yang hendak menggapai langit. Satu lagi, masih dengan tangan dan latar yang sama (birunya langit), membentuk kepalan. Sarat ambiguitas memang, lantaran aku sendiri pun bingung memaknainya. Keputusasaan? Kemarahan akan takdir?

Atau, justru gabungan antara keduanya?

Tak ingin kepalaku dijejali pertanyaan serupa, lekas kubalik gambar-gambar itu sebelum kembali menyalakan api. Namun, baru sekali terpantik, korek gas yang kugenggam sekonyong-konyong jatuh, seiring kulihat tulisan tipis yang tercetak di bagian belakang gambar tersebut.

Aku tak pernah mengimani kehidupan kedua.

Namun, jikalau itu nyata, jikalau itu ada.

Dengan tangan bergetar―aku berani bersumpah penyebabnya bukan kedinginan―aku mulai memantik korek lagi. Beruntung, hanya dalam satu kali percobaan, kertas-kertas itu berhasil tersulut.

Bisakah kita kembali berjumpa, kembali jatuh cinta.

Tanpa perpisahan yang menjadi akhirnya?

Bahkan sampai sang angin kembali menerbangkan abu yang kuhasilkan, getaran itu belum juga usai. Kucoba untuk meredamnya dengan mengepalkan tanganku kuat-kuat. Namun, tetap saja nihil. Kemudian, tanpa bisa dicegah, memori usang yang susah payah kulupakan mulai berkelebat di benakku.

"Ini apa?"

Aku masih ingat, pertanyaan sinis itu tercetus saat aku tengah berada di kamar Igo. Sebungkus kecil bubuk putih, yang untuk kedua kalinya kutemukan di sudut laci nakas, menjadi alasan kuat atas kemarahanku hari itu. Dan, bukannya menjawab, Igo justru berusaha mengambilnya dariku. "Rin ...."

"Ini apa?" ulangku dengan nada sama persis.

Igo masih berupaya merebut benda itu, kalau-kalau aku tak refleks menepis. "Aku bisa jelasin."

"Aku udah pernah bilang sama kamu, kan?" hardikku, mencipta tundukan kepalanya. "Kamu boleh bertemen sama siapa aja, main sama siapa aja, tapi please, jangan pernah bantu mereka soal ini."

"Mereka temen aku, Rin," desis Igo getas.

"Temen mana yang tega membahayakan temennya sendiri?" Kulempar bungkusan laknat itu ke sembarang arah, disambut pekikan Igo yang khawatir isinya akan tertumpah di lantai kamar. "Kalo kamu terus-terusan bantu mereka kayak gini, aku nggak bakal segan-segan buat lapor polisi."

"Rin ...."

"Mereka itu cuma bisa ngasih pengaruh buruk ke kamu, Igo!"

Jeritanku sukses membuatnya bungkam.

"Kamu tau aku gimana, kan?" Seolah tidak mengenal rasa hormat―selain lantaran titelnya sebagai guru menggambarku, jarak umurku dengan pemuda ini juga terhitung lumayan jauh―aku kembali menggertaknya. "Aku lebih rela ketemu kamu seminggu, sebulan, bahkan setahun sekali di penjara, ketimbang selalu ada di samping kamu dan berlagak nggak tau apa-apa kayak sekarang."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang