20

241 40 21
                                    

SESUATU baru akan terasa berharga setelah kita kehilangannya.

Seperti hari ini, mogoknya fungsi pengering pada mesin cuci memaksa tenagaku tercurah lebih banyak. Ritual menjemur cucian yang biasa kuselesaikan dalam sepuluh menit―dengan cuaca sepanas ini, siapa juga yang betah berlama-lama di balkon?―kini mulur menjadi setengah jam lantaran harus memerasnya secara manual. Jari tanganku yang mulai keriput seolah menjelaskan betapa besar peran mesin pengering pada keberlangsungan hidupku selama ini.

Hal serupa juga berlaku pada Rafli. Kedatangannya bak angin segar dalam hidupku yang pengap. Aku, yang selama ini terisolasi (ralat, mengisolasi diri) dari dunia luar, bisa kembali membuka diri berkatnya. Tempat-tempat seramai mall yang selalu kuhindari, bisa kujajaki lagi saat bersamanya. Curhatan-curhatan remeh yang biasa kutelan sendiri juga bisa dengan santainya kulontarkan padanya.

Makanya, sewaktu dia mengibarkan bendera perang untuk pertama kalinya, aku kalang kabut.

Tidak ada lagi sesi curhat, jalan-jalan, dan nonton bareng. Yang tersisa hanya adu mulut―aku heran kenapa Mas Har dan Abin masih betah tinggal di sini―yang sehari-hari jadi tontonan wajib seisi rumah. Aku pun kembali membatasi diri meski tak seekstrem sebelumnya.

Maka dari itu pula, di awal pertemuan kita, aku mati-matian membangun benteng pertahanan, walau setelahnya bisa kamu hancurkan dengan begitu mudah. Aku takut berharap. Aku takut dikecewakan.

Aku belum siap diterbangkan dan kembali dijatuhkan.

Ironisnya, sebelum kamu melakukannya, Rafli sudah terlebih dulu menyabet giliran. Sekali lagi, ini bukan masalah cetek, dangkal atau semacamnya. Ini masalah cara pandang seorang Rafli B. Hasibuan terhadapku. Aku memang tidak berniat mencicipi bangku perkuliahan―dengan kondisiku dulu, bisa hadir di hari Ujian Nasional saja sudah kuanggap keajaiban―tapi bukan berarti Rafli bisa leluasa merendahkanku. Seberapa banyak, sih, uang yang dihasilkannya sampai merasa boleh berbuat begitu?

Dan, kalau diizinkan balik menyerangnya dengan kata-kata, siapa juga yang tidak meragukan kehalalan uang yang dimilikinya? Ditilik dari betapa sering Rafli berangkat dan pulang sesukanya, juga kesediaannya memberiku tumpangan di jam-jam produktif, penghasilan Rafli dari bengkel tempatnya bekerja pastilah semengenaskan angka kehadirannya. Kecuali jika ia punya pekerjaan sampingan yang bergaji fantastis, tetapi tidak membutuhkan banyak waktu dan tenaga.

Menjual narkoba, misalnya.

"Duh, panas banget, ya?" Kamu, sembari mengibas-ngibaskan kerah baju, mendadak muncul di belakangku. Ember berisi air cucian yang sudah akan kuangkut pun kembali kuletakkan di sisi jemuran alumunium kala kamu menyerahkan plastik berlogo minimarket kebanggaan Abin. "Nih. Udah selesai, kan, jemur bajunya?"

Aku bertanya bahkan sebelum menerimanya, "Apaan nih?"

"Titipan," jawabmu, seraya mengeluarkan satu jar es krim dari sana, "dari Rafli."

"Buat Mas aja."

Kamu bersikeras menyodorkannya. "Jangan begitu. Pemberian orang, lho, ini?"

"Aku nggak terima sogokan. Haram."

"Kayaknya aku familiar, deh, sama kata-kata itu?" tanyamu. Ya iyalah familiar, wong kamu pernah bilang begitu waktu kusogok pakai mi kuah dulu. "Beneran nggak mau, nih?"

Kusahuti dengan mantap, "Nggak!"

"Aku makan, ya?"

"Terserah!"

"Enak banget, lho, makan es krim pas lagi panas-panas begini ...." Meski sambil melepas tutup jar es krim, kamu masih berusaha menggoyahkanku. "Yakin nggak mau? Segini, sih, aku nggak bakal abis kalo makan sendirian."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang