BEBERAPA tahun lalu, tepat pukul setengah sepuluh malam, suara pecahan kaca membangunkanku. Pekikan ibuku setelahnya menyusul, membuatku terkejut bukan kepalang. Namun, begitu pintu kamarku terbuka, tak kutemukan ibuku maupun pecahan kaca yang berhamburan.
Yang pertama kulihat justru ayahku dan ceceran pakaian di lantai.
"Pa, Mama kenapa teriak-teriakan begitu?" tanyaku, sambil membantu beliau memunguti pakaian. "Ini juga, kenapa baju-baju Papa awur-awuran gini? Jangan bilang―"
"Mamamu mimpi buruk," sanggah ayahku.
Dahiku tetap berlekuk. "Terus, yang tadi pecah itu apa?"
"Oh, itu ... gelas. Papa habis minum kopi, terus gelasnya ...."
Sebongkah koper yang digunakan ayahku untuk menampung pakaian sekonyong-konyong menghilangkan fokusku. Sebagai seorang arsitek, ayahku memang seringkali pergi ke luar kota demi mengawasi jalannya proses pembangunan, tapi beliau hampir tak pernah mengepak barang bawaannya sendiri. Selalu ibuku yang melakukannya. Segeralah kucecar, "Papa mau ke mana?"
Tiada jawaban.
Kutarik lengan baju ayahku. "Pa ...."
"Papa cuma mau keluar sebentar, kok." Beliau menjatuhkan usapan lembut di puncak kepalaku. "Kamu tidur lagi aja, ya? Besok hari Senin, kan? Nanti kalo telat upacara, gimana?"
"Papa," rajukku, "jangan pergi."
Tarikan bibir ayahku menyurutkan niatku untuk terus merajuk. Kuturuti titahnya untuk melanjutkan tidur yang tertunda. Dan, baru saja mataku memejam, bisa kurasakan satu kecupan mendarat di keningku. Ditambah padamnya lampu, pun kehangatan dari selimut yang dihampar beliau, dengan mudahnya aku kembali ke alam mimpi. Diiringi suara derit koper dan deru mesin mobil, serta isakan ibuku yang semula kukira hanyalah bagian dari bunga tidur di malam itu.
Malam terakhir aku bertatap muka dengan ayahku.
Butuh waktu lama untukku mencerna, juga menerima kenyataan bahwa kedua orang tuaku telah resmi berpisah. Butuh waktu lama pula untuk Igo meyakinkanku jika perceraian tidaklah seburuk yang kubayangkan. Kami hanya dipisahkan atap, bukan dunia, seperti Igo dan mendiang ayahnya.
Tak terhitung seberapa banyak usaha Igo untuk mengembalikan senyumanku. Salah satunya, sebuah ayunan sederhana yang dirakitnya diam-diam di pohon depan rumahku dulu. Aku sering menghabiskan waktu di sana bersamanya, dan jika bosan, kami hanya akan merebah di rerumputan.
Kejahilan Igo juga sangat menghiburku. Igo bisa tiba-tiba muncul dengan kemeja dan topi, berpura-pura menjadi Leo di hadapanku sampai seekor kucing liar membuatnya bersin-bersin seharian. Igo pun sering mengajakku mengusili saudara kembarnya itu dengan cara bersembunyi, lalu mengeong senyaring mungkin. Leo si penyuka kucing akan kalang kabut mengambil stok cat food dan mencari-cari kami―maksudku, asal suara mengeong itu. Dan, bila ketahuan ... mangkuk merah marun yang biasa digunakan Leo untuk mewadahi cat food akan melesat ke kepala Igo.
Mulut Igo pun seusil tingkah lakunya. Tidak sepertimu yang terang-terangan menasihatiku, Igo justru menyuarakan ketidaksukaannya terhadap omonganku lewat sindiran. Semisal berkata, "Nggak usah pake cabe, Bang, omongan dia udah pedes banget soalnya!" pada tukang gorengan saat aku mengomelinya karena terlalu sering begadang, juga, "Tajem banget tuh mulut. Suka makan silet, ya?" ketika kubilang ayam pun ogah berkokok lantaran tahu seorang Virgo Agustian takkan bangun sebelum disiram seember air.
Ah, hari-hari yang menyenangkan.
Semakin menyenangkan ketika suatu hari Igo memberikanku seunit flashdisk dan memintaku membuka sesatunya file yang ada. Namun, bukan gambar, lagu, ataupun dokumen, yang tertampil di layar netbook-ku adalah message box bertuliskan, "Will you be mine?" beserta opsi "yes" dan "no".
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.