12

268 51 38
                                    

BONGKAHAN dus yang diantar Abin siang ini sukses menggemparkan seisi rumah. Bahkan, Yogi yang sudah berjalan melewati gerbang―katanya, sih, mau kerja kelompok―langsung kembali ke ruang tamu lantaran ikut penasaran. "Emang dikit lagi Lebaran, ya? Perasaan puasa aja belom, deh?"

"Kamu salah bawa kali, Bin?" celetuk ibuku. "Ibu, kan, nitipnya minyak goreng!"

Abin, yang masih berbalut kaus polo biru khas minimarket tempatnya bekerja, cepat-cepat menukas, "Kan Abin udah bilang, Bu, minyak gorengnya lagi nggak diskon. Ini, sih, lain lagi."

"Lo mau buka warung?" tanyaku, sambil terkagum-kagum saat Abin mulai melepas lakban dari salah satu dusnya. Memamerkan enam jar plastik yang mewadahi astor berperisa cokelat. "Nanti aja, sih, kalo udah deket-deket Lebaran! Hari gini mana laku jualan beginian?"

"Siapa yang mau jualan? Ini tuh pesanannya Rafli, Rin."

Tunggu. Ini lucu.

"Hah? Ngapain dia beli astor segini banyak?" Jawaban Abin tadi rupanya belum berhasil memuaskan ibuku. "Jangan-jangan dia mau pindah kos, ya, jadi mau bagi-bagiin ini buat tanda―"

"Ah, itu sih perasaan Mama aja," sambar Yogi.

Masa, sih?

"Abin balik kerja lagi, ya, Bu? Rin? Gi?" Abin menyalami tangan ibuku sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu. Diekori Yogi, yang kali ini sudah benar-benar mantap berangkat, Abin sempat pula berpesan. "Oh, iya. Kalo nanti Rafli pulang, tolong bilangin pesanannya udah pas selusin, ya."

Masa, sih, si kingkong yang bebal itu mau mendengarkan ucapanku?

Aku sudah akan terkekeh geli begitu suara derit pintu mengejutkanku. Ralat, bukan suaranya. Yang mengejutkanku justru sosok yang muncul seiring terbukanya pintu kamar itu.

Sosokmu.

"Eh, Nak Awan baru kelihatan!" sorak ibuku saat kamu hendak menuju dapur. Serasa ketemu artis saja. "Mau astor, nggak? Tapi nanti, ya, nunggu si Rafli pulang dulu!"

Kamu cuma bisa cengengesan. "Hehe, iya nih, Bu. Kerjaan lagi numpuk."

"Pucat banget kamu, Wan. Udah makan, belum?" Ibuku tergopoh-gopoh menghampirimu selagi mengatakannya. Bisa kulihat jelas mimik risimu ketika tangan beliau menjelajahi pipi, leher, dan lenganmu tanpa permisi. "Badan kamu dingin banget. Kamu masuk angin?"

"Iya, deh, kayaknya. Dari pagi pundak aku sakit."

Oh, tidak. Kayaknya aku harus cepat-cepat kabur sebelum―

"Mau dikerik, nggak? Suruh si Arin aja, tuh, kayaknya dia lagi nganggur!"

damn.

"Nggak usah, Bu. Yang begini, sih, diolesin minyak angin juga sembuh," tolakmu halus. Nah! Memang harus begitu jadi cowok, jangan manja! "Aku ke dapur dulu, deh, mau bikin teh panas."

Ibuku masih bersikeras membujukmu. "Ih, kayak sama siapa aja! Nggak apa-apa, kali, Wan. Si Arin gitu-gitu jago, kok. Kayaknya di rumah ini cuma kamu, deh, yang belum nyobain kerikannya."

"Bu, aku―"

"Emangnya enak ngegambar pas pundak nyeri begitu? Nggak, kan?" Kegigihan ibuku memang patut diacungi dua jempol sekaligus. Namun, jangan harap akan kuberikan pada keadaan seperti ini. "Udahlah. Kalian, kan, sama-sama tukang gambar, Arin pasti ngertiin, kok. Iya, nggak, Rin?"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang