6

393 65 19
                                    

KUTURUTI ajakanmu untuk menduduki bale bambu di teras rumah. Jujur, jantungku sudah hampir mencelos saat kamu memergokiku, tapi wajah tanpa ekspresimu sekarang membuatku jauh lebih takut. Apalagi, kamu juga sempat melarang Rafli mengikuti kita (aku justru heran kenapa dia menurutimu). Tidak menutup kemungkinan kamu akan mendampratku habis-habisan setelah ini.

"Maaf."

Entah hanya berlagak atau memang tidak mendengar suaraku, kamu bergeming.

"Maaf, aku udah lancang."

Hening. Kamu bahkan lebih tertarik menatap pot-pot bunga ketimbang menoleh padaku. Sefatal itukah kesalahan yang kuperbuat hingga kamu enggan melakukannya?

"Aku emang salah, tapi ...." Kini, aku bahkan tak dapat memandangmu lagi. Yang menjadi fokusku malah buku dalam genggamanmu. "Ini, kan, bukan sepenuhnya salah aku. Kalo aja Mas―"

"Ini udah dua kali, lho, Rin."

Aku tertunduk kala mendengar balasanmu. Ya, dua kali aku berusaha melompati batas privasimu. Dua kali juga kamu memergokiku. Namun, jujur saja, untuk yang satu ini aku sama sekali tidak menyesal. Kalau saja bukan kamu yang lebih dulu mengulik masa laluku, ini takkan terjadi.

"Kamu masih marah soal itu, Rin?"

Keningku mengerut. "Kok?"

"Kok apa?"

Apa, apa! Katamu, kamu bakal melupakan semua hal yang terjadi setelah bangun tidur, kan?

"Rasanya nggak adil juga, sih, kalo cuma aku yang ngantongin masa lalu kamu." Kamu tampaknya tak menangkap suara hatiku barang secuil. Terbukti, bukannya menjawab, kamu malah dengan santainya meluruskan kaki seraya berimbuh, "Apa aja yang udah kamu baca?"

"Nggak banyak," jawabku cepat.

Alismu terangkat, seolah bertanya, "Yakin?"

"Beneran nggak banyak." Kedua tanganku singgah di pinggang. "Pokoknya sebatas sesuatu yang bikin aku yakin kalau otak Mas isinya cuma makanan, makanan, dan makanan."

Kamu terkekeh. Omong-omong, kenapa, sih, kamu sering cengengesan kalau sedang mengobrol denganku? Memangnya di matamu, mukaku sekocak karakter Tahilalats atau Family Over Flower?

"Kamu mau tau masa lalu aku juga?"

Dalam hati, aku mencibir. Paling juga cuma kilas balik semasa sekolah, lengkap dengan kenakalan mainstream semacam bolos atau menyontek. Mentok-mentok dongeng klise tentang mantan. Tidak semenarik itu, tahu?

"Aku ini dokter."

Ah, baru juga dok― "HAH? APAAN?"

Mataku yang membesar mungkin teramat lucu bagimu, sampai-sampai membuatmu tertawa.

"Tepatnya, baru sarjana, sih ... soalnya aku belum ikut uji kompetensi. Nggak nyelesaiin koas juga." Tawamu masih berlanjut ketika melihatku memberengut. "Tapi, cita-cita aku tuh bukan itu."

"Terus apa?" tanyaku.

"Kerjaan aku sekarang ini, lah."

Aku meneguk ludah. Makhluk macam apa, sih, kamu ini?

"Aku punya dua abang dan dua-duanya dokter." Netramu menerawang jauh saat menggumamkannya, dengan langit sebagai santapan. "Dulu, tanpa sadar, definisi keren menurutku itu, ya ... mereka. Bisa nyembuhin dan nolong banyak orang, dihormatin sana-sini ...."

Setelahnya, kudengar embusan napasmu memberat.

"Setelah aku setua ini, aku baru sadar, kerjaanku yang sekarang juga nggak kalah keren." Sudut bibirmu agak tertarik. Kusebut "agak" lantaran senyummu benar-benar setipis kertas. "Mungkin aku nggak bisa nyembuhin luka fisik, tapi dengan gambarku, aku bisa menghibur mereka yang sakit hatinya. Bisa jadi angin segar buat mereka yang lelah mentalnya. Bukannya itu juga termasuk menolong sesama?"

Masih perlukah justifikasi dariku?

Buku yang semula dalam genggamanmu kini berpindah ke tepi bale. Kamu kembali mengembuskan napas, sama berat dengan sebelumnya. "Aku juga sadar, aku bukan orang yang pantes dihormatin kayak mereka. Yang aku butuhin cuma dukungan dari pembaca komikku."

Satu pertanyaan yang berputar-putar di pikiranku: kamu takkan menceritakan hal ini tanpa alasan, kan?

"Orang tua Mas setuju tentang itu?" tembakku. "Gimanapun juga ... kedokteran tuh ...."

Kalau yang satu ini, tampaknya kamu paham betul maksudku. "Tadinya, sih, nggak. Sayang juga, ya, duit segitu banyak 'lewat' gitu aja?"

Ampun, deh. Aku makin kesulitan memahami jalan pikiranmu.

Refleks, aku mendengkus sebelum berkicau, "Udah tau sayang, kok tetep aja berhenti? Emang dikira nyari duit tuh gampang?"

"Bercanda, kok," ralatmu secepat mungkin. "Awalnya, sih, aku juga mikir mereka kecewa karena biaya kuliahku yang mubazir. Ternyata bukan. Mereka lebih kecewa karena aku udah buang waktu segitu lama untuk sesuatu yang nggak aku inginkan." Kamu lantas tertunduk lesu, seolah memasuki gedung fakultas kedokteran adalah dosa terbesarmu selama hidup. "Seandainya aku jujur sejak awal, ya ...."

"Terus, apa bakal ada yang berubah?" Lekas kulingkarkan kedua lengan di depan dada. "Kalo ternyata orang tua Mas Awan malah tetep maksa Mas buat jadi dokter, gimana?"

"Mereka nggak begi―"

Aku menggeleng. "Belum tentu, Mas. Yang namanya manusia itu ada masanya. Mungkin aja mereka baru setuju belakangan ini karena ngerasa udah telanjur kejadian, kan? Jadi nggak guna juga kalo tetep diungkit-ungkit, gitu."

Terpana, kamu pun tak membantah.

"Emang apa yang bisa dilakukan orang yang kecewa selain nerima gitu aja?" tambahku sinis. "Nggak ada bedanya sama yang Mas lakuin ke aku sekarang, kan? Mas nggak marahin aku karena ngerasa percuma. Toh, ingatan aku soal isi buku itu nggak akan hilang cuma gara-gara denger omelan Mas Awan."

Kamu tetap tak mengirim reaksi. Namun, sebagai gantinya, sejurus kemudian kamu malah berujar takjub, "Rin, kamu tuh emang jagonya nethink, ya?"

"Ini namanya bukan nethink, tapi realistis," sanggahku.

"Jangan keseringan, ah, Rin. Nggak bagus."

Kupandangi kamu dengan alis menyatu. "Mulai, deh. Bawel."

"Aku, sih, cuma mau bilang: hati-hati aja. Kebanyakan nethink tuh bikin cepet tua." Cengiranmu kini selebar gerbang rumahku. "Gimana kalo nanti kamu keriput sebelum waktunya?"

Aku mendelik. "Ih! Mas kok lama-lama jadi kayak Mas Har, sih? Suka banget nakut-nakutin aku!"

"Siapa yang nakut-nakutin? Aku, tuh―"

"ANJRIT! SIAPA, SIH, NIH YANG ISENG NGEGORENG KULIT NANGKA?! PEH! PEH!"

Ucapanmu terpotong oleh amukan si kingkong Rafli dari dalam rumah. Selama beberapa jenak, kita saling menatap heran, lalu berakhir dengan terbahak bersama.

Sekarang aku mengerti kenapa namamu Awan. Kamu tenang, enggan bergesekan, dan ...

 Kamu tenang, enggan bergesekan, dan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

... senyummu menyejukkan.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang