8

380 61 49
                                    

SESENDOK gula sekalipun bisa sangat berharga ketika lidah diserang getir.

Aku nyaris gila saat tak menemukan sebutir pun gula di dapur. Ayolah, meski sudah berbulan-bulan sejak kali pertamaku mencoba rebusan daun alpukat demi mengurangi sakit kepala, aku belum juga bisa beradaptasi. Berapa kali pun meminumnya, tetap saja aku kelabakan mencari penawar bagi rasanya yang kelewat pahit.

Lantas kubuka pintu kamar ibuku, untuk bisa mencuri tas yang tergantung di balik pintu, lalu menggeledah isinya di ruang tamu. Biasanya, ada sebungkus-dua bungkus permen mint―iya, akhir-akhir ini ibuku sering membelinya tiap kali akan menghadiri pertemuan Posyandu, kegiatan teranyarnya setelah "bebas" dari cengkeramanku―yang tertinggal di dalam tas berbahan kulit sintetis itu.

Namun, sialnya, yang kutemukan hanyalah brosur seputar suntik vaksin campak dan rubela.

"Nyari apaan, Rin?"

Gawat. Ini sudah lewat tengah malam dan aku tak berharap seorang pun terbangun karena ulahku.

"Ng ... nyari permen, Mas," jawabku takut-takut, tanpa berani menoleh. Siapa yang bisa menjamin kalau kamu tidak berpikir macam-macam tentangku―dengan pose merogoh tas yang bukan milikku malam-malam begini? "Mas Awan dari mana? Kamar mandi?"

"Pasar malem."

"Hah?"

"Aku dari pasar malem." Kamu merepetisi, kemudian memperdengarkan suara gemeresak khas plastik dari belakang sana. "Aku bawa oleh-oleh, nih. Mau, nggak?"

"Apa?"

"Gulali, sama cil―"

"MAUUU!" Aku berhambur ke arahmu yang kini duduk bersila di depan sofa, kemudian merebut buntalan merah muda yang kamu pegang. "Kenapa nggak dari tadi aja, sih? Lidah aku, tuh, tadi hampir lum―"

"Lumpia?"

Kusesap habis sesuap besar kapas manis itu sebelum lanjut bicara, "Puh. Lumpuh. Aku tadi abis minum seduhan daun alpukat, rasanya pahiiit banget. Kalah, deh, kehidupan."

"Kok bisa?" Kamu berlagak kaget. "Kan, itu hasil petikan aku?"

Dengkusanku menjadi respons tunggal atas ucapanmu. Thanks banget, berkat kamu, aku jadi tahu kalau jayus itu menular. Pasti gara-gara keseringan bergaul sama si Abin, nih!

"Ciloknya mau juga, nggak?" tawarmu, sembari menusuk bongkahan cilok dan mengeluarkannya dari plastik. "Mumpung masih panas, nih."

Lekas kurebut tusukan lidi itu darimu. "Emang gini hari masih ada tukang cilok?"

Kamu mengangguk sebelum ikut melahap cilok yang tersisa di plastik. "Tadi aku diajak main catur dulu sama abangnya. Katanya, kalo menang aku nggak usah bayar. Jadi nunggu menang dulu, deh, baru ciloknya dibungkusin."

"Terus nggak menang-menang, makanya sampe semalem ini?"

"Iyap." Sudut bibirmu tertarik lebar. "Kamu sendiri? Kenapa gini hari belum tidur?"

Dengan mulut yang masih lincah mengunyah, kubutuhkan sekian detik untuk mencari alasan yang dirasa masuk akal. "Deadline. Aku belum dapet inspirasi buat cover baru."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang