43

182 10 10
                                    

SEPERTINYA aku tahu dari mana kebiasaan peluk-memelukmu berasal. Belum ada lima menit sejak aku (kita, sih, lebih tepatnya) menginjakkan kaki di rumahmu, pelukan Bunda menyerangku bertubi-tubi seakan anak yang selama ini ditunggu kepulangannya bukanlah kamu. Baru setelah kamu mengeluh kehausan, Bunda bergegas menuju ke dapur. Menyisakan aku, kamu, dan seorang abangmu yang masih berkalung handuk usai sebelumnya diperintah Bunda, “Sana, temenin dulu adikmu!”

“Mas Aw …,” tebakku, tertahan lantaran takut salah mengenali.

Abangmu cepat-cepat menambahkan, “Wang. Awang.”

“Ah, iya! Mas Awang!” Telapak tanganku terjulur. “Arin, Mas.”

Bukannya menyambut ajakan bersalaman atau mempersilakanku kembali duduk bersamamu―aku heran kenapa kamu cuek-cuek saja melanjutkan gambarmu yang tertunda―di sofa, lelaki bergigi rapi itu justru memekik riang, “Bun! Denger, nggak? Dia manggil aku ‘mas’, lho!”

“Jangan GR. Di kosanku juga semuanya dipanggil ‘mas’,” cibirmu, masih dengan pandangan memokus pada PC tablet. Mas Awang tertawa-tawa. Senang betul kayaknya melihatmu sinis begitu.

“Duh, cemburuan banget kalo sama yang ini, ya?” ledek Mas Awang, disusul bunyi berdecit sewaktu bokongnya mendarat di sofa. Seolah belum cukup menjengkelkan, ditarik-tariknya pipimu dan baru berhenti saat kamu menepis. “Kayaknya waktu sama Hani kamu nggak gini-gini amat, deh.”

Telingaku sontak menajam. Tunggu, jangan bilang kalau Hani, tuh, mantan pacarmu yang cantiknya another level itu? Si gaun-pink-polos yang sempat bikin aku terobsesi menyamai gaya berpakaiannya? Lalu, yang Mas Awang maksud dengan “nggak gini-gini amat” itu … masa iya ….

“Aduh, Wang, adikmu jangan diledekin terus, dong. Kasian.” Bunda menyela dari kejauhan. Empat gelas es sirup berwarna oranye―semoga saja rasa jeruk!―yang beliau bawakan membuatku refleks meneguk ludah. “Ayo, diminum dulu, Wan, Rin. Tadi katanya haus.”

Aku menyahut kikuk, “Eh, iya, Bun!”

Sembari meneguk sirup―yes, betulan rasa jeruk!―mataku berkeliaran ke seisi ruang tamu, demi menghindari tatapan intens Bunda yang, jujur saja, bikin salah tingkah sendiri. Ini perasaanku saja atau memang beliau sesenang itu melihatku duduk di sofa bersama kamu dan Mas Awang?

Namun, bukankah yang seharusnya dihujani tatapan seperti itu, tuh, kamu?

“Kalian ke rumah sakitnya besok aja, ya? Hari ini istirahat aja dulu di rumah,” saran Bunda sambil mengelus puncak kepalaku. Satu lagi kebiasaan yang meyakinkanku kalau kamu memang kopian biologis beliau. “Oh iya, kamu tidur di kamar Awal aja, ya, Rin. Udah Bunda beresin, kok.”

“Arin tidur di kamar aku,” tampikmu, disusul semburan sirup dari mulutku, suara batuk Mas Awang, juga mata Bunda yang membelalak. Sebentar, walaupun sudah “pernah”, kamu tentu tidak bermaksud untuk terang-terangan membahas … apalagi berniat mengulanginya di rumah ini, kan?

Bunda jadi orang pertama yang ambil suara. “Nggak bisa, dong, Wan. Kalian, kan, belum―”

“Aku tidur di kamar A’ Awal.”

“Bikin kaget aja kamu, Wan!” omel Mas Awang di sela-sela batuk. Aku pun sama gemasnya, sampai-sampai ingin memijit tombol power di PC tablet yang tetap menjadi pusat atensimu hingga detik ini. Biar gambar yang kamu kerjakan sedari tadi―aku tidak tahu kamu tipe yang akan menekan ikon save tiap menggambar satu garis atau malah baru menyimpan begitu gambarmu benar-benar selesai, tapi semoga saja kamu termasuk ke dalam tipe kedua―lenyap seketika! “Untung cuma ada Bunda. Kalo Ayah yang denger, bisa langsung disate kamu!”

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang