23

251 38 11
                                    

AROMA khas kencur dan cabai yang menyusup dari celah pintu kamar seketika menghentikan pergerakan mouse-ku. Disusul suara beradunya material kaca―yang biasa tercipta saat menumpuk piring atau mangkuk―dari arah dapur, konsentrasiku pada layar netbook tak ayal buyar sepenuhnya.

"Rin, mau seblak, nggak?"

Mendengar panggilan Mas Har, aku segera melompat dari kursi. "MAUUU!!!"

"Giliran ada makanan aja, gercep banget." Mas Har, juga Abin yang sibuk menata mangkuk dan sendok, menyambutku di meja makan sambil geleng-geleng kepala. "Panggil si Awan sama Yogi juga, gih, biar kita makan bareng-bareng."

Aku mendengkus. "Yogi, kan, lagi study tour, Mas. Paling baru pulang nanti malem."

"Awan?" tanya si dedengkot kosan.

"Nggak tau. Ke laut, kali!" timpalku asal. Ralat, tidak sepenuhnya asal, sih, wong sejak pagi batang hidungmu memang tidak tertangkap pandanganku.

Abin memprotes, "Laut apa kali, nih, yang bener?"

"Lo makan aja, oke? Nggak usah banyak komen." Kurebut plastik seblak jatah Abin, untuk bisa menuangkannya ke mangkuk tanpa menumpahkan setetes pun kuah di meja―sebagaimana yang biasa ia lakukan. Butiran bakso dan sawi (iya, Abin kalau beli seblak isinya cuma mau dua bahan itu saja, tidak tahu kenapa) yang mengambang di mangkuk kontan membuatku tambah senewen. "Kalo masih kurang, ambil jatah sawi gue sama Mas Har, nih. Biar pas selesai makan kulit lo jadi ijo kayak Hulk, kebanyakan klorofil."

"Hulk mukanya begini mah, yang mau jadi Black Widow-nya tiga kecamatan!" seru Mas Har.

Kuseruput kuah kemerahan―aku yakin sebentar lagi rasa pedasnya akan mencipta warna yang sama pada wajahku―berikut helaian kerupuk basah sebelum menanggapi, "Eh, ngomong-ngomong, tumben banget jam segini Mas Har udah pulang? Biasanya, kan, tiap masuk pagi pulangnya pasti kelayapan dulu, boro-boro inget rumah!"

"Maunya, sih, gitu, tapi di luar mendung banget, dingin lagi. Bawaannya pengin selonjoran aja di rumah sambil makan seblak." Mas Har menjelaskan sembari mengunyah makaroni, lalu menyisihkan potongan sawi ke mangkuk Abin sesuai usulanku. "Rafli gimana, Rin? Udah ada kabar?"

Aku mengangguk. "Katanya, sih, dia mau pulang hari ini, tapi dari tadi aku tungguin belum nongol-nongol, tuh, orangnya."

"Udah kayak tukang sayur aja ditungguin segala."

Celetukan sinis Abin barusan membuatku dan Mas Har saling melempar tatap. Namun, baru saja aku akan menyahutinya, Mas Har buru-buru mengalihkan perhatian si pemilik lesung pipi itu lewat juluran ponsel. "Eh, kemaren kita sampe mana, deh, nontonnya, Bin? Yang episode ini udahan, belom?"

"Kayaknya yang ini udah, deh, Mas. Terakhir, kan, yang di Lodge Maribaya."

"Nonton apaan, sih? Vlog jalan-jalan?" Aku melirik laman Youtube yang tertampil di ponsel Mas Har. Bukan info seputar tempat wisata, yang pertama kulihat justru ratusan mawar merah yang disusun membentuk hati, agar bisa mengelilingi seorang pemuda yang tengah berlutut di depan sang pacar. Tak hanya itu, kehadiran spanduk "Will You Marry Me?" yang terpasang tepat di belakang si pemuda pun sukses membuatku bergidik. "Ya ampun! Ngapain, sih, nonton beginian? Buang-buang kuota aja!"

Mas Har tak terima. "Suka-suka, dong. Hiburan orang, kan, beda-beda!"

"Emang kerja di retail, tuh, sebegitu banyak tekanannya, ya, sampe yang begini aja bisa dianggap hiburan?" keluhku, seraya menjauhkan pandangan dari tontonan super cringe itu. Geli banget, ih!

"Kamunya aja yang nggak romantis," ledek Mas Har, diiringi anggukan setuju dari pihak Abin. "Atau kelamaan jomblo, jadi sewot tiap liat yang sweet-sweet begini, haha!"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang