19

246 42 42
                                    

GUMPALAN busa yang kuhasilkan dari sabun cuci muka belum sepenuhnya terbasuh ketika kamu mengetuk pintu kamar mandi. "Aduh, Rin! Cepetan, dong! Aku udah kebelet banget, nih!"

"Pake kamar mandi yang di atas aja, kenapa, sih!" hardikku, tak terima. Habis, sudah susah-susah aku mengumpulkan niat untuk mandi, malah diganggu begini! Untung sudah hampir selesai!

"Ada Mas Har lagi mandi juga!"

Aku lantas menyambar handuk, kemudian berpakaian dengan tergesa-gesa. Wah, kalau harus nungguin Mas Har selesai mandi, sih, yang ada kamu keburu infeksi saluran kemih! "Ya udah, bentar!"

Baru saja kutarik gerendel―proteksi ekstra yang dipasang Mas Har di awal-awal kedatangan, atas permintaanku tentunya, lantaran kunci bulat terlalu rentan dibuka dari luar―kamu seketika menerobos masuk. Ck, ketimbang kuhabiskan untuk berfoya-foya, sepertinya lebih baik kalau gajiku kutabung saja agar bisa membangun satu kamar mandi lagi. Khusus buatku, pastinya.

"Kak Arin."

Lho? Tumben si Yogi jam segini belum berangkat sekolah. "Kenapa?"

"Mau bayar SPP sama study tour," jawabnya, seraya menadahkan tangan.

"Ng ...." Kucoba mengingat-ingat isi dompetku. Ah, kayaknya tinggal beberapa pecahan sepuluh dan lima ribuan, deh. "Yah, Gi, Kakak belum sempet ke ATM, nih. Besok aja, ya?"

Yogi mencibir, "Dih, emang siapa bilang aku minta duit Kakak?"

"Lah, terus?"

"Kakak nggak baca WA-nya Mama, ya?" omel Yogi, sembari membuka aplikasi WhatsApp pada ponselnya. Tertera rentetan pesan ibuku di sana. "Tuh, Mama bilang duitnya disuruh ambil di laci kamar Mama!"

Ampun, deh.

Bermaksud menyudahi debat, kutelan kata-kata, "Kalo udah tau, kenapa nggak ngambil sendiri aja, sih, Gi?" dan segera menuju kamar ibuku. Ini anak, mentang-mentang bungsu, dari dulu malasnya kelewatan. Kebanyakan dimanja. Asli, kalau tidak ingat kecilnya lucu (sekarang juga masih, deh, dengan catatan tidak sedang dalam mode menyebalkan) pengin banget aku buang dia ke―

"Duitnya yang di amplop cokelat, ya, Kak!"

Sebentar, ini kok isinya banyak amat, sih?

Kuhitung ulang lembar-demi lembar pecahan seratus ribuan di dalam amplop itu. Satu, dua ... ah, salah kali, nih! Masa iya isinya genap sepuluh juta? Begini, ya, meskipun rata-rata penghuni kosku porsi makannya kayak kuli bangunan, tidak mungkin juga keempatnya rela menyisihkan dua setengah juta hanya untuk uang makan sebulan. Gaji mereka paling tidak jauh-jauh dari UMR Depok!

"Lama banget, sih, Kak? Ngambil duitnya di Hongkong?"

Sindiran nyaring Yogi membuyarkan renunganku. Cepat-cepat kuhampiri anak itu. "Nih, duitnya."

"Makanya, kalo punya HP, tuh, sering-sering ditengok!" omel Yogi lagi. "Jangan laptop terus yang diurusin!"

Hellooo? Yang jelang tanggal red day, tuh, sebenernya siapa, sih? Marah-marah melulu dari tadi!

"Salim dulu, dong!" pintaku dengan tangan tersodor, setelah Yogi selesai menalikan sepatu.

"Nggak, ah!"

Aku mendelik. "Awas kamu, ya, kalo minta duit buat beli kuota lagi!"

"Hari gini internetan masih pake kuota? Wi-Fi, kaleee!" Yogi berhambur ke luar, meninggalkanku yang masih terbengong-bengong di depan pintu. Tahu, sih, sejak tinggi badanku tidak lagi di atasnya, Yogi memang tak sudi mencium punggung tanganku (kecuali pas Lebaran, karena selain dipaksa ibuku, iming-iming salam tempel selalu berhasil mengalahkan gengsinya), tapi nolaknya tidak harus terang-terangan begini, kan?!

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang