18

261 45 48
                                    

SOLUSI yang kamu janjikan baru bisa diwujudkan dua hari kemudian. Ditemani Mas Har, Rafli, dan Abin, kamu memboyong ibuku ke ruang tamu. Aku sendiri hanya berstatus sebagai pemerhati lantaran tak sanggup―bisa jatuh martabatku kalau sampai menangis untuk kedua kali―bergabung di sana. Jadi, bermodalkan sedikit celah dari pintu kamar, kupantau semua pergerakan kalian malam itu.

"Mulai malam ini, kita udah sepakat buat bayar uang makan, di luar iuran sewa bulanan." Mas Har, selaku tetua kosan, mengawali percakapan dengan penuh kehati-hatian. "Maaf, ya, Bu, kalo selama ini kita seneng-seneng aja dapet jatah makan gratis tanpa pernah tau kesulitan Ibu."

Abin mengangguk. Diserahkannya sebuah amplop cokelat pada ibuku. "Terima, ya, Bu?"

"Ibu nggak bisa nerima ini."

See? Bisa ditebak dari mana kudapatkan sifat kepala batu ini?

Menyaksikan ibuku menolak, bahkan sebelum menyentuh amplop itu, Mas Har kembali angkat bicara, "Bu, ini tuh hak Ibu. Kita udah cukup banyak nyusahin Ibu. Pasti berat, kan, selama ini Ibu harus nanggung biaya makan kita, sampe-sampe kebutuhan keluarga Ibu sendiri nggak terpenuhi?"

Nah, kalau begini, sih, aku baru percaya Mas Har seorang sales promotion veteran. Terbukti, semenggoda apa pun aroma parfum yang kupilihkan tiap bulannya takkan laku keras jika tidak diiringi oleh skill merayu yang mumpuni dari lelaki satu ini. Good job, Mas Har!

"Emang nggak banyak, sih, tapi setidaknya dengan ini Ibu nggak perlu kerja lagi," tambah Rafli.

Ibuku tetap menggeleng. "Asal kalian tau, Ibu selama ini nggak pernah merasa disusahin. Ibu udah nganggep kalian semua sebagai bagian dari keluarga Ibu. Sama kayak Arin, kayak Yogi ...."

Kecuali Mas Har, tiga orang sisanya―kamu kenapa ikutan cemen begitu, sih?―tertunduk melihat mata Ibuku yang mulai berkaca-kaca. Rafli malah sudah sibuk menyeka mata .... Sebentar, kok, malah dia yang nangis duluan? Apa tidak malu dengan sepasang tindikan dan tatonya yang besar-besar itu?

"Tujuan Ibu bikin kosan ini juga bukan semata-mata buat cari uang," lanjut Ibuku. "Ibu cuma mau rumah yang hidup, yang ramai ... yang nggak bisa Ibu dapetin semenjak perceraian Ibu."

Mas Har meremas tangan ibuku. "Bu ...."

"Jadi, Ibu tetap nggak bisa nerima ini." Ibuku tersenyum simpul. Asli, bisa-bisanya beliau tersenyum di saat seperti ini? "Masa sama anak-anak sendiri soal makan aja perhitungan, sih?"

Kini, serupa Rafli, aku mulai terisak di balik pintu kamar.

Tidak satu kata pun. Ibuku sama sekali tidak berbohong, bahkan untuk satu kata pun. Sepeninggal ayahku, di rumah kami yang dulu, tak jarang beliau mengajakku berandai-andai, "Kalo punya rumah besar, terus ramai, pasti seru banget, ya? Kamu jadi punya banyak teman ngobrol, Yogi jadi ada yang ngawasin, terus masakan Mama selalu abis .... Ah, Mama ngebayanginnya aja udah seneng."

Yah, aku masih menganggapnya sebatas perandaian sebelum ibuku benar-benar merealisasikannya. Bermodalkan warisan dari mendiang kakekku―sekalipun ibuku anak tunggal, aku tidak pernah menyangka nominalnya bisa sefantastis itu―beliau ternyata sudah membangun rumah seluas ini jauh-jauh hari sebelum perceraiannya. Memang, kamar yang disewakannya tak sebanyak kosan biasa, tetapi dengan begitu, kami bisa lebih selektif memilih sesiapa yang berhak menghuninya.

Sesiapa yang berhak menjadi bagian dari "keluarga".

"Bu, Arin, tuh, keberatan banget sama keputusan Ibu buat kerja di tempat itu." Kamu akhirnya bersuara, setelah sebelumnya melirik ke arah pintu kamarku. "Coba Ibu pikir-pikir lagi, ya?"

"Keputusan Ibu udah bulat, Nak Awan."

Pandanganmu terlempar lagi pada pintu kamarku, seolah bertanya, "Gimana, nih?"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang