BOHONG jika kubilang aku tidak berdebar-debar saat menatap tulisan Depok-Bandung di bagian muka bus. Ini perjalanan terjauh yang kutempuh setelah tiga tahun mengasingkan diri. Dulu, jangankan menaiki, baru melihat bus terparkir saja sudah membuahkan kesenangan sendiri bagiku. Aku selalu menganggap bahwa bus adalah kendaraan yang akan membawa seseorang pada kegembiraan, entah untuk berwisata atau pulang menemui orang-orang tercinta. Sayangnya, anggapan itu tak lagi terbukti lantaran dua perjalanan terakhirku justru gagal menghasilkan kegembiraan.
“Nanti, kalo kamu ngantuk, tidur aja, ya.”
Namun, bolehkah kali ini aku kembali mengharapkan kegembiraan, setidaknya untukmu saja?
“Kayaknya Mas Awan, deh, yang bakal tidur duluan!” godaku, sambil melirik bawah matamu yang menggelap. Ini masih pukul enam pagi dan aku belum mengantuk sama sekali. Lain ceritanya kalau matahari sudah meninggi, ya! “Si Bleki masukin ke tas aku aja, sini. Daripada nanti ketiduran, terus jatuh, gimana?”
Kamu menurut. PC tablet yang sedari tadi kamu pegangi lantas berpindah ke dalam tote bag milikku. “Nitip, ya, Rin,” pesanmu seusai menguap lebar-lebar. Oh, berkat terjaga semalaman pula, aku tahu jika kamu juga melewatkan waktu tidur―terbukti dengan suara dentingan sendok dan aroma mi kuah dari kamarmu yang setengah terbuka saat aku melintas―meski tak tahu apa alasannya. Tapi, melihatmu masih kukuh menggambar dalam kondisi tinggal lima watt begini, aku mulai bisa memahami.
Deadline. Satu kata yang selalu membuat “pekerja lepas” seperti kita ketar-ketir.
Mungkin setibanya di Bandung nanti aku harus menraktirmu sebagai permintaan maaf. Biarpun kemarin dulu aku sangat keras kepala, diam-diam aku merasa bersalah juga. Habis, kalau tidak begitu, kamu takkan bersedia memesan tiket bus, menuju terminal sejak pagi-pagi sekali, pun membagi jok biru yang jauh dari kata luas ini denganku. Sebagaimana yang kamu lakukan kini.
Salahku juga, sih, karena sudah gegabah membuat janji.
Tidak lama setelah tragedi (agak berlebihan memang, tapi kurasa ini kata yang tepat) video call di balkon, aku menggondol ponsel made in China ibuku demi memburu kontak daruratmu―sesiapa yang harus kami hubungi pertama kali saat terjadi sesuatu. Masa bodoh nama siapa yang akan muncul usai kuketikkan namamu di kolom pencarian, aku akan segera meminta nomor ponsel ibumu padanya. Hanya saja, saking bernafsunya, aku melupakan satu hal: keabsurdan ibuku dalam menamai kontak. Bila namaku saja “Anak Mama” dan Yogi “Anak Mama Lagi”, sudah pasti kontak daruratmu dinamai ….
Awan Darurat
Awan Darurat Lagi
Kan, kan! Mana foto profil WhatsApp keduanya sama-sama swafoto ibu dan ayahmu, lagi! Masih bagus kalau kontak pertama yang kuhubungi adalah ibumu, kalau ternyata ayahmu? Kutarik lagi kata “masa bodoh” sebelumnya, deh!
“Ha … halo? Ini dengan Ibu Wulan, bukan?” sapaku kikuk, sehabis mengucap salam. Huh, ada gunanya juga aku pernah mengintip salinan kartu keluarga di buku catatanmu.
“Ini siapa, ya?”
Suara perempuan di seberang sana membuatku lega luar biasa. Sungguh keputusan tepat memilih kontak Awan Darurat! “Saya Arin, Bu. Anaknya yang punya kosan Mas Awan.”
Tak ada jawaban.
“Saya …,” aku meneguk ludah sebelum berimbuh, “saya bisa, kok, bantu Ibu buat bujuk Mas Awan pulang. Cuma … nggak tau Mas Awan-nya bakal mau atau nggak ….”
Masih tak ada jawaban.
“Bu?” panggilku, memastikan interaksi ini tetap berlangsung dua arah. “Ibu masih di situ, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
Roman d'amourNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.