1

1.5K 126 44
                                    

KAMU bilang ingatanku buruk, tapi entah mengapa aku masih ingat kali pertama kita bertemu.

Berbalut kemeja flannel merah dan jeans selutut, kamu menemui ibuku yang tengah menyapu halaman depan. Mempertanyakan kebenaran atas tulisan "Terima Kos Pria" di pagar rumah. Ibuku tentu mengiakan dan, oh, ia pun menatapmu sebagai lembaran uang raksasa. Itu lantaran adikku, Yogi, butuh suntikan dana secepatnya untuk membeli netbook berspesifikasi mumpuni.

Ibuku membawamu ke ruang tamu dan kalau saja saat itu kamu tahu, di sanalah kami mengulitimu. Seleksi fisik semacam tato dan tindik hanyalah secuil dari diskriminasi sepihak yang kuajukan. Aku tidak mau tinggal bersama seorang berandalan (lagi!). Sesudah itu, pertanyaan personal seperti, "Kamu 'minum'?" atau malah, "Kamu punya catatan kriminal?" meluncur dari mulut ibuku.

Dan, kamu hanya punya satu jawaban: tidak.

"Oke. Uangnya saya terima, ya, Nak Awan." Ibuku menghitung ulang lembaran merah muda yang kamu berikan. Kamu memang bukan orang pertama yang tanpa ragu membayar, pun langsung masuk di hari yang sama alih-alih melakukan survei lokasi terlebih dulu. Namun, tetap saja, di mataku kamu benar-benar patut diwaspadai. "Oh, iya. Kalau boleh tau, Nak Awan ngerokok, nggak?"

"Saya nggak ngerokok," tandasmu.

"Bagus. Pertahanin, ya, Nak, soalnya anak saya yang satu ini sebel banget sama asap rokok." Senyum semringah terpancar di wajah ibuku, berbanding terbalik dengan cebikanku. "Si Rafli, yang tadi lagi manasin mobil di depan rumah, tuh, pernah ditendang pantatnya sama dia gara-gara ngerokok di kamar mandi. Nggak tau aja bapaknya si Rafli itu pengacara kondang!"

Andai kamu tahu, aku meringis waktu itu.

Usai terkekeh, ibuku lanjut berseru, "Tapi, biar begitu dia anaknya baik, kok. Kalo kamu malem-malem kepengin makan mi, suruh aja dia masakin. Bikinannya lebih enak daripada yang di warkop-warkop, lho."

Sekali lagi, andai kamu tahu, aku sudah membayangkan akan menjadi koki pribadimu―tentu saja bersistem romusha―kelak.

"Boleh, boleh .... Kebetulan saya hobi makan mi." Kamu tersenyum. Namun, tampak setengah hati. Kala itu, kupikir kamu jengah dengan ocehan ibuku. "Mmm, ngomong-ngomong kamar saya yang mana, ya, Bu? Udah ada lemarinya juga, kan? Biar bisa langsung beres-beres."

Ibuku mengangguk. "Itu, yang di sebelah tangga. Maaf, ya, agak menjorok ke dapur."

"Nggak apa-apa," tanggapmu. "Saya langsung ke kamar, ya, Bu. Sekali lagi ... makasih."

Harusnya kamu tahu, aku mengikutimu dari belakang. Harusnya kamu tahu, aku belum puas mengulitimu. Harusnya kamu tahu ... aku mengintip apa saja yang kamu lakukan lewat celah pintu.

Sejak awal, aku mencurigaimu.

Kulihat kamu melepas plastik pembungkus kasur, lalu mulai menghampar seprai yang kamu ambil dari koper. Kamu lantas mengalasi bagian dalam lemari dengan kertas sebelum memindahkan pakaian-pakaianmu ke dalamnya. Kemudian, kamu terdiam beberapa jenak di hadapan kotak berbahan jati itu. Menatap pantulan dirimu pada cermin besar yang melekat di bagian muka pintu.

Bibirmu bergerak, tapi aku tidak tahu apa yang kamu ucapkan.

Aku ingat, itu berlangsung cukup lama. Cukup untuk membuatku bosan dan memilih duduk bersandar di pintu kamarmu. Dan, asal kamu tahu, aku berusaha menganalisis semua tindakanmu sampai celetukan usil ibuku mengakhirinya, "Main detektif-detektifannya udahan, Rin?"

"Apaan, sih!" Aku melengos. "Arin cuma penasaran, kok!"

"Bukan berarti kamu bisa seenaknya ngintipin orang, kan?" sahut ibuku. Oke, kuakui kemiripanku dengan beliau tak sekadar warna kulit dan mata yang agak sipit. Kadar "ngotot" kami pun nyaris seimbang. "Udah, deh. Nak Awan itu baik, kok. Keliatan dari matanya."

"Ma, please, deh," protesku jengkel. "Kita nggak pernah bisa tahu isi hati orang, Ma. Gimana kalo dia punya niat macam-macam? Gimana kalo dia itu sebenernya buronan? Penjahat? Pencuri? Inget, Ma, sekarang laki-laki di rumah kita cuma si Yogi. Bisa apa dia? Paling selepet sarung doang."

"Lah? Si Rafli, Abin, sama Haryo nggak kamu itung? Mereka laki-laki juga, kan?"

"Mereka bukan keluarga kita, Ma!"

"Yah, tapi Mama udah telanjur nganggep mereka bagian dari keluarga kita," lanjut ibuku santai. "Lagian, pilihan Mama sebelumnya baik semua, kan? Nggak ada yang macem-macem sama kamu, toh? Emang kamu pikir nggak dosa, apa, nyurigain orang sampe segitunya? Dosa, tau!"

"MAMAAA!!!"

"ARIIINNN!!!"

"Tau, ah!" Bibirku mengerucut. "Yang jelas, aku belum seratus persen percaya sama di ..."

"Hoi."

"... a?"

"Rin! Cepetan minta maaf!" omel ibuku begitu mendapatimu berdiri di ambang pintu. "Nak Awan, maaf sebelumnya, nih, si Arin ini emang rada paranoid orangnya. Omongannya nggak usah dimasukin hati, ya? Kamu istirahat aja, pasti capek abis perjalanan jauh terus beberes ...."

Kamu mengangguk dan lekas menutup pintu.

"Oh iya, Bu." Hanya selang beberapa detik sebelum pintu kamarmu kembali terbuka. "Saya nggak tahu saya ini orang baik atau bukan, tapi yang jelas, saya bukan buronan, penjahat, apalagi pencuri."

Kalau aku boleh bertanya, waktu itu kamu betulan marah, tidak, sih?

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang