38

177 20 25
                                    

KUCABUT sambungan pen tablet pada netbook ketika suara serak Rafli menyela, “Udah selesai semua, nih. Masih ada yang mau di-packing lagi, nggak?” dari belakang. Tiga dus berisikan ilustrasi siap kirimku diletakkannya di atas meja belajar, bersisian dengan netbook yang baru saja kututup. “Atau, mau langsung dikirim?” tambah Rafli. Duh, semenjak insiden bioskop, aku sering kebingungan menentukan ekspresi wajah tiap berhadapan dengan pemuda tinggi besar ini. Mau senyam-senyum seperti biasa, takut dikira naksir balik. Mau pasang muka datar, kok kesannya sok banget ….

“Nggak usah, biar nanti Yogi aja yang ngirim. Makasih, ya.” Cengiran super canggungku Rafli balas dengan raut cemas. Mengundangku untuk bertanya, “Kenapa?”

“Orang itu dateng lagi.”

Aku, yang paham benar siapa “orang itu”, langsung mendengkus. “Biarin aja, lah.”

“Dia tuh siapa, sih? Orang kantor? Customer? Rentenir? Atau … mantan lo?” Tebakan terakhir Rafli sukses membuatku membatu. “Eh, tapi bukannya mantan lo udah ….” Tatapan Rafli berubah simpati. Diberinya tepukan pada bahuku. “Sori. Gue lupa kita udah sepakat buat nggak ngomongin ini.”

“Bukan dia, kok,” sahutku, sok santai.

“Perlu diusir?”

“Cuekin aja. Nanti juga dia bakal cabut sendiri kalo udah bosen.” Kuputar posisi kursi agar bisa berhadapan dengan Rafli yang kini menduduki tepi kasur. Dan, berhubung Rafli tetap terlihat merasa bersalah, kucairkan suasana dengan beralih topik. “Eh, Raf, by the way … makasih buat kaosnya, ya. Gambarnya bagus, gue suka. Mana bahannya adem banget, lagi. Pasti nggak dapet cepek, nih.”

Yah, kaus berwarna oranye muda yang yang kupakai sekarang ini memang hasil pemberian Rafli (walau harus dititipkan pada Yogi) beberapa hari lalu. Sebagai penglaris untuk distronya yang baru dibuka di Jagakarsa, katanya. Dan, bukan cuma basa-basi. Aku memang sangat menyukai gambar kolase―yang menggabungkan buah persik, bunga mawar, burung-burung mungil, juga tangan yang tak mampu menjangkaunya―di bagian tengah kaus ini. “Mas Awan yang desain. Cuma ada satu, tuh.”

Mataku membelalak. “Beneran?”

“Beneran apa dulu, nih? Soal cuma ada satu atau―”

“Beneran Mas Awan yang desain?” tambahku.

Anggukan Rafli mengonfirmasi. “Iya. Hampir sedistro isinya hasil desain dia sama Ido semua.”

“Kereeen!” Didahului decakan kagum, ibu jariku teracung tepat di depan wajah Rafli. “Pantesan lo diem-diem akur sama Mas Awan. Kirain cinlok, ternyata partner bisnis, toh?”

Rafli mencubit hidungku. “Cinlak, cinlok. Muka lo tuh kayak panci cilok.”

“Ih! Gue nggak bisa napas, tau!” Kulepas paksa jari si kingkong dari hidungku yang tak seberapa mancung ini. “Kapan-kapan, kalo udah gajian, gue mampir ke sana, deh. Dapet diskon, nggak?”

“Ternyata lo beneran suka, ya.”

Sebelah alisku terangkat. “Kaosnya? Iyalah, bagus begi―”

“Bukan kaosnya,” sanggah Rafli. Tangan besarnya, sekali lagi, jatuh di bahuku. “Good luck, deh.”

Kubarter tepukannya dengan senyuman. “Makasih, ya.”

“Bukan kaosnya, kan?”

Senyumku melebar. Ini baru Rafli yang pernah kurindukan. Yang mampu dan selalu memahamiku tanpa perlu banyak bertanya. “Iya. Bukan kaosnya.”

Rafli kembali mencubit hidungku, yang kemudian kubalas dengan menarik ujung rambutnya yang nyaris menyentuh kerah belakang. Aduhan serta tawa kami silih berganti memenuhi kamarku dan baru terhenti ketika Rafli pamit. Sembari mengantar pemuda itu lewat pandangan, diam-diam aku membatin. Kuharap, ia bisa segera menemukan orang lain yang mampu dipahaminya sebaik ia memahamiku. Diperlakukan sebaik ia memperlakukanku. Juga, disayanginya sebaik ia menyayangiku.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang