DIDIHAN air dalam panci sudah bermenit-menit kubiarkan. Sembari menepuk pelipis, aku melongok ke luar dapur. Benar saja, sudah ada ibuku yang tergopoh-gopoh memasuki ruang tamu.
“Ada, Ma?” tanyaku.
“Nggak!” seru ibuku. “Pohonnya Pak Edo baru ditebang kemarin. Mama udah nyariin sampe ke komplek sebelah, tapi nggak ada yang punya lagi. Kamu sementara minum teh aja, ya?”
Aku mendengkus. “Ntar tambah melek yang ada.”
Ibuku terdiam sejenak. Mengurangi waktu tidurku memang hal yang setengah mati dihindarinya. “Coba keliling aja, gih. Ke kebun apa taman mana, kek, gitu. Kali aja nemu.”
“Maaa ….”
“Aduh, Rin, Mama bukannya nggak mau nolongin, tapi Mama harus ke Posyandu. Ini aja udah diteleponin melulu dari tadi.” Sambil memamerkan riwayat panggilan di ponsel made in China kesayangannya, ibuku bergegas mengenakan sepatu. “Nanti Mama suruh Abin nemenin kamu, deh. Lagi masuk siang, kan, dia?”
“Ma, please, deh. Kasih penawaran tuh yang menarik dikit kenapa, sih? Jangankan pohonnya, Arin aja nggak yakin si Abin bisa ngebedain mana buah alpukat mana jambu biji,” tolakku cepat.
“Hush! Kamu sembarangan aja kalo ngomong. Pasti tau, lah, dia.”
Nah, nah. Bela saja si Abin terus. Aku lupa memberitahu beliau kalau sehabis kerja bakti minggu lalu, Abin menyebut nangka goreng kami sebagai durian-diaduk-sisa-adonan-bakwan (terima kasih pada minyak jelantah yang membuatnya kian terasa gurih). “Ogah, ah! Mending aku jalan sendiri!”
“Bertiga, deh, bertiga.” Ibuku mengajukan penawaran. “Sama Rafli.”
“MAMAAA!!!”
“ARIIINNN!!!”
“Males, ih, sama Mama!” cibirku, dengan kaki terentak-entak. “Awas aja. Nanti pas pulang, seprai mahal Mama bakal aku jadiin tenda-tendaan!”
“ARIIINNN!!!”
“MAMAAA!!!”
“Kamu tuh serba salah banget, sih!” pekik ibuku. “Terserah, deh!”
“Nggak apa-apa, nih, seprainya dibikin tenda?”
“ARIIINNN!!!”
Nyatanya, sebelum benar-benar pergi, ibuku sempat menyebar pesan ke grup WhatsApp kami (iya, beliau khusus membuatnya demi memantau kelakuanku dan Yogi selama berada di rumah) untuk menyuruh satu di antara kalian menemaniku. Ya, aku yakin hanya “salah seorang”, sebelum akhirnya ada empat lelaki―minus Yogi―yang keluar dari kamar masing-masing dan menghampiriku.
Termasuk kamu.
Yang pertama kali mendatangiku adalah Mas Har. Belum-belum aku menyapa, dia sudah menyambar handuk dan pamit, “Aku mandi dulu, ya, Rin! Kamu tunggu aja di depan!”
Aku bahkan tidak yakin Mas Har akan selesai mandi sepulangnya ibuku nanti.
Selanjutnya, Rafli. Jujur, melihatnya bangun sepagi ini pun sudah membuatku kagum. Apalagi saat si kingkong berkata, “Mau ke mana, sih, pagi-pagi gini? Ayam juga belom bangun, kali.”
“Udah dari tadi, keles. Elonya aja budek.”
Rafli melotot. “Lo tuh sebenernya mau ditemenin nggak, sih?”
“Sejujurnya ogah kalo yang nemenin elo.”
“Gue aduin Ibu, lho!”
“Heh!” tukasku. “Mainnya sekarang ngaduan, jir, kayak cewek!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.