41

163 15 24
                                    

KATAKANLAH sekarang ini aku frustrasi. “Pelukan” yang kukira akan menenangkanmu tempo hari ternyata tidak semanjur itu. Hujanmu memang surut, tapi alih-alih balas memeluk atau tersenyum sebagaimana dugaanku (iya, aku sepercaya diri itu), sesudahnya kamu justru beranjak dari teras. Meninggalkanku dan jejak-jejak air di sekitar kerah bajuku. Tanpa kata. Tanpa pertemuan mata.

“Lagian, kenapa juga gue harus sepede itu, sih?” gerutuku kepada termometer digital yang kamu tinggalkan―bersama stetoskop yang entah kapan kamu ambil kembali―di atas nakas beberapa waktu lalu. Tadinya, aku berencana menggunakan benda ini sebagai alibi untuk menemuimu. Namun, mengingat banyaknya waktu yang kubuang demi menyiapkan mental, juga ketiadaan sosokmu di dalam kamar tiap kali aku bertandang, rencanaku gagal total. “TAU, AH! SUKA-SUKA TUH ORANG AJA!”

Menjeritnya, sih, begitu, tapi ketika mendengar suara dorongan gerbang beserta lantunan salam, aku langsung berhambur keluar kamar. Bohong jika kubilang tidak kecewa sewaktu menemukan Abin, seorang diri, memasuki teras. Maka, tanpa menunggunya selesai melepas sandal, kucecar ia, “Bin, biasanya lo kalo ke masjid selalu bareng Mas Awan, deh. Kok sekarang sendirian? Mas Awan mana?”

Bukannya menjawab, Abin malah memandangiku lurus-lurus. “Kok, salam aku nggak dijawab dulu, sih, Rin?” tanya pemuda itu, sembari meletakkan kresek hitam dan sajadah kecil di tembok teras.

Wa’alaikumsalaaam!” pekikku, kemudian menepis punggung tangan Abin yang berisyarat, “Salim dulu, dong!” dengan lancangnya. Lama-lama ngelunjak juga nih cowok! “Emangnya lo bokap gue, minta disalimin segala? Udah, ah, sekarang lo jawab dulu pertanyaan gue. Mas Awan mana?”

“Mas Awan pulang duluan, soalnya aku mampir dulu ke tukang buah. Abis, tadi mangga lagi murah banget, Rin. Mana gede-gede pula. Kata tukangnya, kalo nggak manis, boleh dibalik―”

“Oh, oke. Makasih buat infonya.” Kutahan diri untuk tidak menambahkan “yang nggak terlalu penting itu” di ujung kalimat. Belum-belum mencapai pintu, satu keganjilan mengganggu pikiranku. “Bentar. Kok lo bisa pulang sendiri?”

Abin meringis, “Dianterin sama tukang buahnya sampe gerbang ….”

… oke (lagi).

“Rin.”

Kuhirup napas banyak-banyak sebelum menyahut, “Apa lagi, Bintaaang?”

“Igo-Igo itu siapa, sih?”

Tidak menyangka saat-saat seperti ini akan tiba juga―kupikir sampai kiamat pun aku takkan pernah membahas soal Igo dengan Abin―gantian aku yang meringis, “Mantan gue. Kenapa?”

“Udah … nggak ada?” Nada bicara Abin kini seragu air mukanya. “Meninggal, maksudnya.”

Dan, tidak kusangka pula akan menanggapinya sesantai sekarang. “Iya.”

“Gara-gara Mas Awan?”

Kecuali untuk pertanyaan satu ini, tentunya.

“Duh, gue juga bingung jelasinnya, Bin. Kapan-kapan aja, ya, jawabnya?” pintaku sambil bersiap kabur karena, yah, pertanyaan itu tak seharusnya dilayangkan padaku. Bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu―atau malah tidak yakin dengan―jawabannya? “Eh, by the way, nanti gue minta mangganya satu, ya. Kayaknya enak banget, nih, kalo dijus terus dipakein susu dikit!”

Beruntung, sebesar apa pun keingintahuannya, Abin tetaplah Abin yang perhatiannya gampang teralih. “Iya. Nanti biar aku kupasin sekalian,” sahut pemuda berlesung pipi itu, yang segera kubalas dengan ucapan terima kasih. Untuk sebutir mangga, juga kesediaannya untuk berhenti bertanya.

***

Semua ketukan yang kuciptakan berakhir sia-sia. Saking putus asanya, knop pintu kamarmu sempat kugenggam walau akhirnya tak kugerakkan sama sekali. Maka, usai mendaratkan kepalan tangan di muka pintu untuk terakhir kali, kutinggalkan kamarmu beserta seluruh keheningan di dalamnya.

“Mau diketok sampe pintunya bolong juga nggak bakal disahutin, Kak …,” komentar Yogi, dari balik pintu kulkas, sewaktu aku berjalan melewatinya. “Mas Awan-nya lagi di atas, tuh, jemur baju.”

Aku mengangguk-angguk. “Oh, di atas, toh ….”

Seraya membuka sekaleng minuman isotonik dingin, Yogi ikut mengangguk.

“KENAPA BARU NGOMONG SEKARANG, SIH, GIII?” Kucubit puncak lengan bocah itu sebelum melesat ke lantai dua. Alhasil, sungutan Yogi dan derap langkahku pun bersahut-sahutan. Namun, sudah tentu tak kutanggapi karena sepanjang perjalanan, imajinasi memenuhi benakku. Terbayang aku akan memergokimu serupa maling jemuran―kedengarannya agak bodoh sebab yang tersampir di jemuran alumunium justru pakaianmu sendiri―lalu mencegahmu kabur dengan kedua tangan terentang. “Ha―”

Bibirku masih terbuka saat kudapati kamu, yang duduk memunggungi jendela balkon, sedang mengobrol lewat panggilan video. Enggan mengganggu, aku lantas mundur. Batal menyapamu. Batal melewati pintu. Yang bisa kulakukan kini cuma menunggu. Duduk sejajar dengan ember plastik yang kamu letakkan di luar sana, sesekali melirikmu dari balik jendela, juga mendengarkan obrolanmu dengan seorang perempuan paruh baya yang sketsa wajahnya mengisi seperempat halaman catatanmu.

Ibumu.

Salahkan pintu yang terbuka lebar dan opsi loudspeaker yang kamu nyalakan. Seluruh ucapan kalian dapat kudengar dengan jelas meski awalnya tak bermaksud demikian. Tadinya, sih, hanya berupa basa-basi semacam, “Bunda sama Ayah sehat?” atau, “Bunda udah makan?” yang segera dikembalikan beliau padamu. Baru kemudian berlanjut pada kabar abang-abangmu, keluhan seputar ayahmu yang menderita asam urat, tapi terus-terusan merengek minta disediakan emping di meja makan, serta ….

Kapan kamu mau pulang?

Pertanyaan yang membuatmu, juga aku, dalam sekejap kehilangan kata-kata.

Kamu udah ngasih tau anak itu, kan?” tanya ibumu lagi, seakan tidak membiarkanmu terlalu lama bungkam. Sebentar, mungkinkah yang dimaksud beliau dengan “anak itu” adalah ….

“Udah, sih, Bun, tapi ….”

Sepertinya benar. “Anak itu” adalah orang yang bersandar di jendela yang sama denganmu. Orang yang belum lama ini dijejali “fakta” bertanda kutip lantaran kebenarannya pun masih diragukan.

Orang yang sekarang ini menguping pembicaraan kalian.

Kata kamu, kamu cuma perlu nemuin dia supaya trauma kamu bisa hilang, kan, Wan?

Senyap. Kamu memilih diam, sementara aku menantikan jawabanmu dengan bibir tergigit. Entah kamu akan mengiakan atau malah membantah, bagiku keduanya sama saja. Sama-sama menyadarkanku bahwa untukmu, selain penyembuh, aku tidak benar-benar berarti.

“Kayaknya belum bisa, Bun.” Didahului garukan tengkuk, kamu menjawab pelan. “Kayaknya Awan baru bisa sembuh kalo Awan bisa maafin diri Awan sendiri.”

Atau, malah tidak berarti sama sekali.

Bunda boleh minta kontak anak itu?” Permintaan ibumu memaksaku kembali menyimak obrolan kalian. Persetan dengan kemungkinan kamu akan menoleh karena merasakan getaran yang kuhasilkan, kusandarkan kepala pada kaca jendela. Tidak berarti, tidak berarti, tidak berarti ….

“Buat apa, Bun?”

Buat nyuruh dia ngusir kamu.

“Bunda mah ada-ada aja.” Kamu, di belakang sana, tertawa-tawa. Namun, sekadar suara. Tanpa guncangan kecil yang semestinya ada. “Awan nggak mau kasih, ah, biar Bunda makin kangen.”

Emang kamu nggak kangen sama Bunda? Sama Ayah? Sama kakak-kakakmu?

Ada sedikit jeda sebelum kamu merespons, “Kangen, sih.”

Ya kamu pulang, atuh, Wan,” pinta ibumu. “Kamu tau sebentar lagi keponakanmu lahir?

Bukan lagi sekadar duduk, kupeluk lutut rapat-rapat. Sebutlah ini karma lantaran selagi mencuri dengar, yang kuperoleh justru hal-hal yang tak ingin kudengar. Hal yang mengingatkanku bahwa selama ini aku tidak benar-benar mengenalmu. Hal yang membuatmu, di mataku, kini tampak begitu jauh.

Dan, tahukah kamu, apa yang paling ironis untukku?

“Hah? Bukannya baru―”

Kenyataan bahwa kita hanya dipisahkan selapis kaca.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang