3

569 84 51
                                    

MASIH di hari yang sama ….

“Tuh, Rin. Untung tadi Mama beliin, kan?” Ibuku terkagum-kagum saat kamu mencomot sepotong lagi bakwan, untuk menemani jatah nasi udukmu yang tersisa setengah porsi. “Makan yang banyak, Nak Awan. Hayo, Gi, kamu juga jangan kalah. Abin, Rafli, ayo nambah lagi.”

Mas Har menyeletuk, “Har nggak disuruh nambah juga, Bu?”

“Kan kamu tadi pas jemput Ibu udah ngebungkus lopis juga, Yo. Empat biji, lagi.”

Aku terbahak. Ternyata, sekurus apa pun cowok, perutnya tetaplah jurang tak berdasar. Apalagi kamu. Belum setengah jam berlalu sejak kamu menandaskan mi kuah buatanku, nasi uduk, bihun goreng, dan tiga potong bakwan kini ikut bersarang di perutmu.

Pertanyaanku: kamu lapar atau lupa?

“Oh iya, Wan. Kamu belum kenalan sama anak-anak sini, kan?” tanya ibuku, usai melipat kertas nasinya. Ini dia yang membuat beliau terobsesi dengan nasi uduk. Perut begah, cucian piring tak bertambah. “Nih, yang ini anak bungsu Ibu, Yogi namanya. Ganteng, kan? Iya, dong, siapa dulu ibunya!”

Si tengil Yogi cengar-cengir, kemudian kembali serius membaca buku pelajaran. Entah kenapa, sejak masuk SMK dia jadi lebih rajin belajar. Padahal saat masih bercelana biru, ugh, hampir setengah umurnya habis di warnet langganan. Siang atau malam, Point Blank must go on!

“Kalo ini, Abin.” Ibuku menepuk bahu Abin, yang harusnya sudah bisa bermimpi indah pagi ini—jika saja tidak diseret ke meja makan untuk berkumpul bersama kami. “Dia kerja di minimarket depan situ, tuh. Kalo kepepet, mampir aja. Bisa ngutang dulu, kok!”

Meski masih terkantuk-kantuk akibat shift malam, cowok itu berseru, “Abin.”

“Awan,” balasmu kikuk. Hayo, waktu itu kamu pasti heran, kenapa makhluk sekinclong Bintang Arestya bisa nyasar ke sini. Iya, sih, kamu tak salah. Kulitnya putih bersih, gigi rapi, bodinya juga keren. Tampang? Jangan ditanya. Mulus! Terus, seolah belum cukup perfect, Abin juga punya lesung pipi yang sangaaattt dalam. Cukup untuk bikin aku deg-degan di hari pertama kami tinggal seatap.

Namun, sayangnya, dia GGB.

Ganteng-ganteng bloon.

Abin selalu kesulitan menghapal rute. Tidak satu-dua kali Abin membombardir ponselku atau Yogi untuk minta dijemput—omong-omong, kalimat andalan Abin sewaktu kami menagih kejelasan adalah: “Tapi, di sini masih ada (sebutkan objek yang bisa kalian temukan di pelosok sekalipun, seperti angkutan kota, warkop, mobil tahu bulat, atau ojek daring), kok!”—di lokasi yang entah bagaimana, dia bisa berada di sana. Dan, setelah memutuskan untuk tinggal lebih lama di rumah ini pun, dia minta dibuatkan denah agar bisa keluar gang tanpa harus nyasar terlebih dulu.

“Nah, yang ini si Rafli,” imbuh ibuku, “yang pantatnya—”

Aku menggerutu, “Ma, please. Jangan bahas itu lagi.”

“Emang kenapa, sih?”

“Ini, kan, lagi di meja makan, ngapain ngomongin pantat?”

“Lah, itu Kakak juga ngomong pantat!” sambar Yogi. “Pantat teriak pantat!”

Sekakmat. Kalo si Yogi sudah ikut-ikutan, bisa panjang urusannya.

“Udahlah ….” Si empunya pantat menyela. “Emang pantat gue salah apa, sih, Rin?”

“Pantat lo nggak salah, cuma karena lo mikir pake pantat—”

Ibuku mendelik. “ARIN! KAMU JANGAN KURANG AJAR SAMA YANG LEBIH TUA!”

“Jadi gini, Mas Rafli.” Kuatur tata bahasa sehalus mungkin. Oke, yang harus kalian ketahui, ini bukan masalah pantat. Ibuku memang tidak bisa menolerir panggilan “lo-gue” pada orang yang lebih tua meski jarak umurku dengan Rafli hanya satu tahun. “Waktu Mas Rafli ngerokok di kamar mandi itu, asapnya tuh kecium sampe ke dapur. Harusnya, kalo otak Mas Rafli masih ada di kepala, ventilasinya tolong ditutup biar aku, Mama, sama Yogi nggak terpapar asap. Gitu.”

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang