17

222 46 30
                                    

BELAKANGAN ini, ada satu hal yang terlambat kusadari: langkanya intensitas kehadiran ibuku di rumah. Aku lebih sering menjumpai beliau di waktu pagi, grasah-grusuh menyiapkan sarapan―dijamak dengan lauk makan siang, malah―juga properti sekolah Yogi (yang sebentar lagi naik kelas sebelas, tapi selalu lupa kapan atau di mana terakhir kalinya ia menaruh dasi, topi, dan kaus kaki), lalu pergi dan baru terlihat lagi di malam hari. Satu-dua kali, sih, wajar. Namun, akhir-akhir ini, sepertinya hampir setiap hari aku makan siang dengan lauk dan sayur dingin.

"Mama mau ke mana?" tanyaku, sepeninggal Yogi dan penghuni kos kami dari meja makan.

Ibuku, sembari memasang peniti pada kerudung birunya, menyahut asal, "Posyandu, lah."

"Ma. Please, deh. Posyandu, tuh, di mana-mana cuma sebulan sekali, bukan tiap hari."

"Ya udah, Poskamling," jawab beliau, lebih asal lagi.

"MAMAAA!!!"

"ARIIINNN!!!"

"Serius dikit kenapa, sih, Ma?" protesku. "Aku, kan, nanya baik-baik!"

Masih sambil berkutat pada cermin kecil yang disandarkannya pada mug di meja makan, ibuku menghela napas. "Mama mau main sama temen lama Mama. Udah lama banget nggak ketemu, soalnya."

"Seharian lagi?"

Ada jeda sesaat sebelum ibuku menyuarakan pembelaan. "Mama, kan, butuh hiburan, Rin. Semenjak kita pindah, kan, Mama di rumah terus, nemenin kamu. Bosen, tau!"

"Nggak harus tiap hari juga, kan?" ketusku. Habis, macam anak muda saja pakai kumpul-kumpul segala. Ibuku ini terlambat puber atau bagaimana, sih? Aku saja yang betulan anak muda sama sekali tidak tertarik!

"Udah, ah, Mama berangkat dulu. Ngeladenin kamu, sih, sampe subuh juga nggak bakal kelar!"

Usai berpamitan, ibuku benar-benar melesat pergi. Aku, tanpa menghiraukan piring-piring kotor yang masih menumpuk di meja makan, sontak kelimpungan memutuskan sikap. Aku harus apa, nih? Membuntuti ibuku? Tapi, bagaimana kalau nanti si James Bond gadungan itu muncul, lalu―

"Rin, itu piringnya nggak diberesin dulu?"

Gotcha!

"Mas!" Kuhampiri kamu dengan antusias. "Mas Awan temenin aku, ya?"

"Ke mana?"

Ah, pasti bakalan lama bila harus menjelaskannya padamu. "Udah, temenin aja!"

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tepian jalan. Ibuku, yang hanya terpisah beberapa meter dari kita, baru saja menyetop angkutan kota dan lekas menaikinya. Ugh! Bagaimana, nih? Jika kembali ke rumah untuk mengambil motor atau dompet, sudah pasti aku bakal kehilangan jejak ibuku!

Oh, tunggu, bukankah sekarang ini aku tidak sendirian?

"Mas, Mas bawa dompet, kan?" todongku.

Kamu mengangguk. "Bawa. Emang kenapa?"

"Pinjem, buat ongkos!"

Satu lagi angkutan kota terhenti saat kulambaikan tangan. Sialnya, tempat duduk yang tersisa cuma kursi ekstra―harus kubagi denganmu pula!―yang berada di dekat pintu. Mau tak mau aku harus sering-sering menoleh agar angkutan kota yang dinaiki ibuku tetap berada dalam pengawasan penuh.

"Sebenernya kita mau ke mana, sih, Rin?" Kamu nampaknya merasa terganggu dengan aksi toleh-menolehku. "Jangan nengok-nengok gitu, ah, ntar leher kamu sakit!"

"Pak! Kiri, Pak!"

Dengan bibir mencebik, kamu bergegas turun dan membayarkan ongkos. Sori banget, nih, bukannya tidak mau menjelaskan duduk persoalannya, tapi aku belum siap dihadiahi ocehanmu. Semisal, "Ngapain, sih, pake ngebuntutin Ibu segala? Kayak detektif aja!" atau justru, "Sekarang malah kamu yang kesambet James Bond, nih?".

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang