5

443 69 35
                                    

MINGGU pagi adalah waktu terbaik untuk bermalas-malasan, tapi sayangnya, hal itu tidak berlaku di rumah kami. Secara semena-mena, ibuku membangunkan seisi rumah―kecuali aku yang memang masih terjaga, tentunya―dan memberi tugas individual yang entah kapan direncanakannya.

Dua laki-laki yang paling disayang ibuku: Yogi dan Rafli, bertugas membersihkan halaman. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya hal seremeh menyapu dedaunan dan memunguti sampah harus dikerjakan dua orang (ralat, satu bocah kutu buku dan kingkong pemalas). Mestinya Rafli diberi tugas yang lebih berat, seperti membersihkan got atau merapikan gudang layaknya Mas Har. Malu, dong, sama badan dan tato yang besar-besar itu.

Abin, yang hari itu kebetulan libur, bertanggung jawab atas ruang tamu. Nah, kalau yang ini baru pas. Soalnya, bukan cuma mukanya saja yang kinclong, hasil kerja Abin juga betul-betul kinclong. Mulai dari kaca, bingkai foto, sampai pajangan piring antik ibuku (sampai sekarang aku tidak mengerti, untuk apa membeli piring seharga ponsel pintar tanpa boleh digunakan sebagaimana fungsinya) semua dilap hingga berkilau. Pun begitu dengan lantai, karpet, dan sofa, dijamin seratus persen bebas debu.

Kamu sendiri sibuk menyikat kamar mandi. Tidak adil rasanya melihat si kingkong Rafli sudah berleha-leha (iyalah, cuma menyapu halaman yang tak seberapa luas itu) sementara masih ada satu lagi kamar mandi di lantai atas yang menunggu untuk dibersihkan olehmu. Kamu juga, sih, lebai. Dibilang tidak usah terlalu bersih, malah minta dibelikan sikat satu lagi. Biar bisa menyikat pakai dua tangan. Mana sempat-sempatnya ceramah, "Ini tuh namanya amanah, Rin. Harus dilaksanakan."

Sekalian saja minta empat sikat, biar menyikatnya bisa pakai kaki juga.

Aku? Aku dan ibuku sedari tadi berkutat di dapur. Membersihkan meja, mengelap kompor, juga membasmi noda cipratan minyak di dinding―untuk kemudian kembali ke keadaan semula usai kami menggoreng nangka (big thanks pada Yogi yang menemukannya "terbaring" di halaman saat bertugas). Bonus untukku, yakni menyikat wastafel (ini sebabnya kamu hanya diberi satu sikat) yang lima menit sekali disatroni Mas Har demi membasuh muka tiap kali terpapar debu.

"Ih! Apaan, nih?"

Mas Har menunjuk benda asing di atas wajan. Mirip-mirip mendoan lantaran tipis dan berbalut tepung. Namun, yang ini tentu lebih spesial karena akulah yang membuatnya. "Ra-ha-sia!"

"Pasti nggak beres," desah pemuda itu seraya berlalu, usai sebelumnya mencomot dua potong nangka goreng yang masih menumpuk di saringan. "Jangan macem-macem, ah. Lagi adem ini."

Aku mencibir. Adem dari mananya, coba? Baru tadi kausku―yang sudah kujemur sejak kemarin―jatuh ke halaman dan bukan memungutnya sebagaimana suruhanku, Rafli justru menggabungkannya dengan setumpuk daun kering di sudut halaman. Kalau saja Yogi tidak menjerit-jerit saat hendak kurampas sapunya, dahi si kingkong pasti sudah kubuat benjol.

"RIIIN! NANGKANYA UDAH MATENG SEMUA?" Ibuku memekik dari lantai dua. Kutebak, beliau hendak menjadi asistenmu―atau malah sikat keduamu. "TOLONG BUNGKUSIN BUAT RAFLI SEKALIAN! DIA MAU MASUK SIANG, NGGAK KEBURU KALO MAKAN DI RUMAH!"

Aku balas menjerit, "MALES, AH, MA! SURUH BUNGKUS SENDIRI AJA!"

"ARIIINNN!!!"

"MAMAAA!!!"

"MAU DIBUNGKUSIN ATAU KAMU YANG MAMA BUNGKUS?!"

Sip.

Tak sampai semenit kemudian, empat potong nangka goreng―berbonus satu kejutan dariku―telah berpindah tempat, dari saringan ke wadah bekas es krim neapolitan. "UDAHAN, NIH! TARUH DI MANA?"

Kuberitahu, jika titah ibuku sudah disertai ancaman, jangan coba-coba membantah. Beliau bukan tipe orang yang segan untuk merealisasikan ucapannya. Semisal membuat Yogi di-blacklist dari warnet terdekat lantaran bocah itu tidak pulang ke rumah dua hari berturut-turut atau mengurungku seharian di kamar sewaktu enggan membelikannya garam di warung.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang