"TANGAN kamu siniin, deh, Rin."
Meski sudah mengalihkan pandangan dari layar netbook, aku tak lantas menuruti permintaan Mas Har. "Mau ngapain, sih? Ngeramal garis tangan? Ogah, ah! Nggak percaya aku sama begituan!"
"Ngaco." Mas Har menarik lengan kiriku. "Tadi Mas nuang body lotion kebanyakan. Sayang, kan, kalo dibuang."
"Lagi libur ngapain pake lotion segala, sih? Nggak ke mana-mana juga, kan? Lengket-lengketin badan aja!" cecarku kala pemuda itu mulai membaluri sekujur lenganku dengan lotion. Jangan kaget, koleksi perawatan tubuh, rambut, dan wajah milik Mas Har memang seabrek, walau kebanyakan berupa sampel yang cuma bisa dipakai satu-dua kali. Sesuai dengan prinsip sesat yang dianut seorang Haryo Wibowo (juga segelintir senior yang secara turun-temurun mengajarkannya) bahwasanya sampel produk itu jauh lebih baik berakhir di tangan sendiri, ketimbang diberikan cuma-cuma pada customer yang belum tentu beli. Iya kalau sama customer-nya betulan dipakai, kalau ternyata dibuang? Mending dicoba sendiri, syukur-syukur bisa lebih memahami benefit produknya sebelum menawarkan ke calon customer, sekaligus ngasih review dan masukan ke pihak supplier biar produk selanjutnya bisa lebih maksimal lagi.
Padahal memang dasar sales promotion-nya saja bermental gratisan. Busuk.
"Libur nggak libur, kan, kulit Mas juga harus dirawat. Emangnya kamu, putih doang, tapi pas dipegang kasar kayak kulit buaya?" cemoohnya tanpa rasa bersalah. "Sini, sebelah lagi."
Aku membelalak. "Emang Mas Har pernah megang kulit buaya?"
"Pernah," jawab Mas Har, "tapi pas udah jadi tas."
"Bodo amat, Mas."
Mas Har tergelak. "Makanya, kalo nggak mau mirip buaya, kamu yang care dong sama kulit sendiri. Masa kalah, sih, sama Mas? Udah males pake lotion, jarang tidur, jarang mandi―"
"Enak aja! Sekarang aku mandi dua kali sehari, tau!"
"Ya sekarang. Dulu-dulu?" sanggah Mas Har, seiring terhentinya kegiatan balur-membalur lotion. "Nah! Selesai, deh. Begini, kan, enak. Udah wangi, kulit jadi halus .... Tinggal punya pacarnya aja yang belum."
Dengkusanku mengalun sinis. Boro-boro punya pacar, baru mau naksir saja sudah ditolak duluan.
"Mas Har," panggilku, usai sang pemilik nama hendak beranjak dari ruang tamu.
"Hmmm?"
"Ngomong-ngomong soal care ...." Aku mencari-cari celah untuk bertanya. "Kalo ada orang yang baik dan care banget sama aku, tapi setelahnya justru ngelarang aku buat suka sama dia, itu kenapa, ya?"
"Bisa jadi karena dia nggak mau kebaikannya disalahartikan sama kamu?"
"Oh, gitu," gumamku, sebisa mungkin berusaha agar tidak terlihat kecewa―pun tertohok―dengan jawaban Mas Har. "Tapi, abis itu dia juga bilang kalo dia nggak pantes buat aku. Gimana, tuh?"
Namun, alih-alih menghibur, jawaban Mas Har setelahnya justru membuatku kian tertohok. "Halah, lagu lama kaset kusut! Sepik aja itu, sih, biar kesannya dia nggak jahat-jahat amat. Trik basian!"
Benarkah?
"Emang siapa yang berani gituin kamu, Rin? Rafli, Abin, apa Awan? Kasih tau sini, biar Mas tempeleng kepalanya!" Tangan Mas Har terkepal saat mengatakannya. "Enak aja udah bikin anak gadis orang berharap, tapi ujung-ujungnya dijatuhin gitu! Belum aja ntar dia kena karmanya!"
Benarkah itu cuma sekadar alasan?
"Ada, lah. Mas Har nggak usah tau," ujarku lesu.
"Cup, cup, cup .... Kacian banget, cih, adiknya Mas." Mas Har membimbing kepalaku untuk bersandar di bahunya yang tak seberapa lebar itu. "Sering-sering begini, ya, Rin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
Lãng mạnNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.