SEBUTIR lagi tahu bulat berhasil kutelan ketika kamu mengetuk pintu kamarku. Belum-belum kupersilakan masuk, kepalamu seketika menyembul dari balik pintu. "Boleh pinjem gunting kuku, nggak?"
"Bukannya Mas Awan punya?" balasku ogah-ogahan. Siapa juga yang tidak jengkel saat batas teritorinya diinjak tanpa izin? Beruntung, sebelum rumahku beralih fungsi menjadi panti jomblo―ini, sih, hanya sepengetahuanku dan sepengakuan keempat penghuni kos kami―aku selalu membiasakan diri untuk berganti baju di kamar mandi. Jadi, sepasang jendela besar yang berada di tengah-tengah wilayah kekuasaanku bisa dibiarkan terbuka sepanjang hari tanpa membuatku waswas.
Namun, tidak untuk pintu.
"Aku lupa naruh di mana," sahutmu pelan.
"Dasar." Aku mencibir seraya mengulum jari, berusaha menghapus jejak bubuk cabai yang tertinggal di sana. "Bentar. Aku cari dulu."
Tak tega membiarkanku sibuk membongkar laci, kamu memutuskan masuk dan ikut mencari. Duh, takdir memang selucu ini, ya? Rasanya baru kemarin kita (aku, lebih tepatnya) kucing-kucingan dan menghindari satu sama lain. Sekarang? Aku bahkan bisa dengan santainya membiarkanmu menjelajahi sudut demi sudut kamarku tanpa perlu merasa terancam lagi.
Aku sadar, kamu layak mendapat kesempatan kedua.
Persetan hukuman apa yang telah menimpamu, yang terpenting adalah kamu sudah menyesali semuanya. Kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan itu salah dan siap menanggung konsekuensinya.
Untuk itu, aku sama sekali tidak berhak menghakimimu, apalagi membencimu.
"Gambar kamu bagus juga, Rin." Alih-alih fokus mencari, kamu justru asyik memandangi coretan tanganku yang bergelantungan di atas meja belajar. Tiap-tiap helainya memang hanya seukuran kartu pos sehingga memudahkanku untuk memajangnya bak cetakan foto. "Kamu nggak ada rencana buat bikin webtoon juga? Atau nerbitin komik, gitu?"
"Aku nggak segabut itu, kali," tolakku cepat.
Senyum sumirmu muncul, pertanda malas mendebat. Ayolah, kalau memang aku ingin, sudah sedari dulu aku melakukannya. Hanya saja, ketimbang komik (baik cetak maupun daring) aku jauh lebih tertarik untuk menjajal dunia animasi. Aku selalu memimpikan gambar-gambarku hidup secara harfiah. Bukan sekadar bergerak di benak, tapi juga bisa disaksikan langsung oleh berpasang-pasang mata.
Jadi, tidak ada alasan untuk mengabulkan usulanmu.
"Aku, tuh, orangnya gampang bosen." Kucoba meralat ucapanku, agar tidak meninggalkan kesan ketus padamu. "Paling semangatnya cuma di halaman-halaman awal aja, abis itu males nerusinnya, deh."
Rasa kecewamu tidak langsung pudar. "Sayang, tau."
"Lagian, kalo webtoon bikinanku bagus, peringkat After Sleep pasti bakalan turun drastis," kelakarku, berbonus cengiran lebar. "Nanti yang ada laptopku dipotek sama pengarangnya, lagi!"
Kamu mendengkus. Namun, tak urung ikut tersenyum. "Pede banget kamu, Rin."
"Harus, dong!" Aku tergelak puas sebelum akhirnya khusyuk menggeledah lemari. Sumpah, kenapa, sih, gunting kuku selalu bersembunyi saat kita memerlukannya? "Coba buka laci yang paling bawah itu, deh, Mas. Takutnya nyemplung ke situ."
Kamu menurut. Laci terbawah meja belajarku pun seketika terjulur, memamerkan isinya yang semrawut. Aku memang menggunakannya untuk mewadahi sketsa-sketsa lamaku, yang sebagian besar kuanggap gagal, tapi tidak sampai hati melihatnya berakhir di tempat sampah.
"Hati-hati, ya, di situ suka ada kecoaknya, Mas."
Senyap. Tidak ada tanda-tanda kamu akan merespons peringatanku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.