MENYANDARKAN punggung di pintu jadi usaha terakhirku untuk melindungi diri. Perlahan-lahan, aku merosot ke lantai. Setiap satu panggilan terdengar dari luar sana, satu kali pula belakang kepalaku membentur pintu. Namun, sekeras apa pun benturan yang kuhasilkan, suara itu tetap terdengar. Malah, semakin terasa nyata.
"Arin?"
Aku tidak gila.
"Arini?"
AKU TIDAK GILA!
"PERGIII!!!"
Entah tenaga dari mana, aku bisa berteriak sebegitu nyaringnya. Dan, berhasil. Suara itu redam seiring dengan ketukan pintu yang dihasilkan ibuku. "Rin? Ini Mama. Buka pintunya, ya?"
Tapi ... apa benar suara itu benar-benar berasal dari mulut ibuku?
Bukan dari otakku, seperti yang lalu-lalu?
"Arin." Satu lagi panggilan menyentakku. "Buka pintunya, Nak."
Tanganku menggapai-gapai, mencari knop pintu yang kugunakan sebagai tumpuan demi bisa bangkit. Begitu pintu terbuka, dekapan beliau seketika menyambutku. Sangat hangat, tapi belum cukup hangat untuk bisa membuatku berhenti menggigil. "Dia muncul lagi, Ma .... Dia muncul lagi ...."
"Siapa?" tanya ibuku pelan.
Bahu ibuku kian kuyup saat aku berbisik, "Igo, Ma ...."
"Rin, dengerin Mama." Beliau menangkup kedua pipiku. Disekanya lelehan air di sana sebelum berimbuh. "Yang kamu lihat itu bukan Igo."
"Maksud Mama?"
Tidak kusangka, di belakang ibuku, pemuda itu masih kerasan bertandang. Senyum kikuknya luruh, digantikan raut cemas yang entah apa gunanya. "Dia Leo, Rin."
"Apa, Ma?"
Bukan aku tak mendengar, hanya saja ...
"Dia Leo."
... aku harus memastikan kalau telingaku tak salah menangkap.
***
Secangkir teh yang disajikan ibuku masih mengepulkan uap ketika Leo kembali menghindari tatapanku. Yah, kalau di hadapanku ini Igo, atau sebatas bayanganku yang membentuk Igo, yang kuperoleh pastilah ledekan spontan macam, "Kenapa ngeliatin? Masih nggak percaya, ya, punya pacar seganteng aku?" dan "Biasa aja kali liatinnya!" disertai cubitan di pipiku. Bukan malah guliran mata, kuluman bibir, dan garukan tengkuk sebagaimana yang Leo suguhkan kini.
Leo juga tidak kunjung membuka obrolan, pun menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah kami. Ia hanya sesekali menanggapi basa-basi ibuku sembari menyeruput teh. Pun saat Yogi, yang bau keringat sehabis tanding futsal, menyalaminya dengan ogah-ogahan setelah disuruh ibuku, Leo cuma menyunggingkan senyum kikuk yang acap ditunjukkannya dulu. Namun, tanpa kuduga, sesudahnya Leo bertanya, "Semalem, kenapa langsung pulang? Kan, acaranya belum mulai?"
"Aku ...." Sekarang, justru aku yang membuang pandangan. Mana bisa kujelaskan bahwa aku terbirit-birit meninggalkan reuni karena mengiranya sebagai mendiang Igo? "Aku ngantuk."
Alis Leo yang tak seberapa tebal berkerut-kerut. "Belum juga jam delapan, udah ngantuk? Kamu tuh emang nggak berubah, ya. Dari dulu selalu tidur jam segi―"
"Aku ngantuk. Mau tidur. Mas Leo mending pulang aja," pungkasku sinis. Jujur saja, keserupaan wajah Leo dengan sang adik membuatku tidak tahan berlama-lama di dekatnya. Memori-memori pahit yang seharusnya sudah kulupakan kembali menyerbu benakku hanya dengan melihat wajah pemuda ini.
"Rin, aku―"
"Nak Leo," potong ibuku, "Arin emang lagi nggak enak badan sejak tadi malam. Kalo emang ada perlu, besok atau lusa aja kamu balik ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.