“DITEMENIN sama Haryo, deh, ya?”
Tawaran konyol ibuku, yang untuk ketiga kalinya tercetus seharian ini, kurespons dengan tawa sumbang. “Ma, Arin tuh cuma mau ke Kota Tua, bukan ke pedalaman Afrika. Sama Mas Leo, lagi. Mama, kan, udah kenal lama sama Mas Leo. Ngapain khawatir berlebihan begitu? Lagian, kalo ngajak Mas Har, kan, otomatis harus nungguin Mas Har mandi dulu. Minimal dua jam, lah. Belum ngeringin rambut sama milih bajunya. Arin mau berangkat jam berapa, coba? Tengah malem? Dini hari? Subuh-subuh?”
“Abisnya, kamu disuruh ngajak Abin nggak mau. Ngajak Rafli nggak mau. Haryo apalagi!” Ibu jari dan telunjuk ibuku terangkat, siap menjewer telingaku kalau-kalau aku tidak segera berlindung di balik pintu kamar mandi. “Mama, kan, takut kamu kenapa-napa kalo cuma berdua sama Leo. Emang kamu nggak inget gimana seremnya dia waktu ngamuk itu? Mama, sih, ngeri!”
“MAMAAA!!!”
“ARIIINNN!!!”
Kepalaku menyembul dari balik pintu. “Pokoknya Arin mau pergi berdua sama Mas Leo, titik!”
“Yah, jangan titik dulu, dong.” Ibuku memegangi knop pintu, mencegahku menutupnya. Wah, kalau adu tenaga, sih, aku pasti kalah telak! “Sama Nak Awan, deh? Penawaran terakhir, nih!”
“Mas Awan lagi. Yang ada nanti mereka di sana jotos-jotosan babak kedua, terus diangkut mobil satpol PP, deh,” cibirku. “Oh, iya, Ma. Mama udah tanya-tanya ke Mas Awan soal kejadian waktu itu?”
Ibuku mengangguk. “Udah, sih, tapi Nak Awan bukannya jawab, malah terus-terusan minta maaf sama Mama. Kayak orang ketakutan gitu. Padahal, kan, Mama nanyanya juga biasa aja. Nggak pake urat.”
“Ngapain juga pake urat, emangnya bakso?” kelakarku. “Udah, ah, Arin mau mandi dulu!”
Tangan ibuku kembali menahan pintu. “Sama Yogi, gimana?”
“NGGAK MAUUU!!!”
Perdebatan itu baru benar-benar berakhir saat aku menaiki ojek daring, yang aplikasinya baru kuunduh sore ini, lalu meluncur ke stasiun terdekat. Oh, sudah sangat lama sejak terakhir kali aku menjejaki bangunan yang menaungi tiga rel ini. Aku pun sempat kagok saat membeli tiket di mesin penjual otomatis―padahal, usai beberapa kali mencoba, ternyata masalahnya cuma karena uangku lecek!―dan mengakibatkan segelintir orang bosan menunggu dan beralih pada mesin di sebelahku.
Dan, setelah berhasil mendapatkan tiket, aku bergegas menuju peron jalur satu.
Tempat di mana Leo, juga kereta yang akan membawa kami ke Stasiun Jakarta Kota, menunggu.
Kuhampiri pemuda berkemeja garis-garis itu. “Mas, sori, nunggu lama, ya?”
“Ayo.”
Sambutan Leo sedingin tapak tangannya yang melingkari lenganku. Dibimbingnya aku memasuki gerbong yang tak seberapa ramai. Kami duduk bersebelahan, dipisahkan sling bag hitam yang sengaja tidak kupindahkan. “Mas Leo marah, ya, gara-gara aku telat? Sori, deh, tadi tuh aku pas beli―”
“Nggak,” tukasnya cepat, “aku nggak marah.”
Bilangnya, sih, begitu, tapi sampai lima stasiun berikutnya, Leo tidak kunjung menyahut ketika kuajak bicara. Jadi, daripada dikira sinting karena mengobrol sendiri, kuputuskan untuk membaca setumpuk webtoon terbitan hari ini―yang bahkan belum sempat kulirik sama sekali―di sisa perjalanan. Sumpah, kerupuk saja tuh kalah garing kalau dibandingkan dengan perjalanan kami!
Sampul After Sleep, yang memang selalu menempati baris teratas jadwal harian, baru kuklik usai menghabiskan judul-judul lain. Save the best for last―aku yakin kepalamu akan sebesar semangka jika mendengarnya―hehe. Tokoh utama di episode kali ini adalah seorang pemuda berkemeja flannel merah yang bermimpi telah menghilangkan nyawa seseorang. Senjatanya bukan pistol, pisau, apalagi racun, melainkan kata-kata. Yang terucap ringan tanpa pernah tahu sebesar apa dampak yang akan ditimbulkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.