PERNAHKAH kalian mempertanyakan apa yang dipikirkan seseorang ketika matanya tertuju pada kalian?
Selama ini, aku kerap menerka-nerka apa yang ada di pikiranmu tiap kali kedapatan memandangiku. Di antara banyak kemungkinan, ada satu yang selalu kuusir pertama kali: kamu menyukaiku. Dan, benar saja. Kamu bukan menyukaiku, melainkan merasa bersalah padaku. Merasa bahwa kamulah yang patut disalahkan dan harus bertanggung jawab atas keterpurukanku di masa lalu.
“Bantu Bunda yakinin Awan, Rin.” Isakan Bunda kemarin kembali mengusik benakku siang ini. Bisa kurasakan lagi betapa gemetarnya tangan yang sudah mulai keriput itu sewaktu menggenggam tanganku. Yang terkepal. Yang tak kalah gemetar. “Bantu Bunda yakinin Awan kalo itu bukan salahnya.”
Kulemparkan tatap padamu yang lagi-lagi mencebik.
Apa aku bisa?
“Kamu kurus banget, sih, Waaan!” Teh Tiara, yang kata Bunda masih dalam masa pemulihan pascamelahirkan, mencubiti pipimu tanpa kenal ampun. Sesekali, kakak iparmu itu meringis karena luka bekas operasinya terasa nyeri sehabis tertawa-tawa selagi meledek. Namun, sama seperti Mas Awang, tampaknya meledekmu adalah prioritas yang tak bisa dinomorduakan. “Katanya masakan mamanya Arin enak? Kok, pulang-pulang kamu tinggal kulit sama tulang begini? Sering lupa makan, ya, di sana?”
Bibirku tertarik, siap menyemburkan tawa kalau-kalau tidak melihat raut jengkelmu. “Kamu” dan “lupa makan” sangat tidak cocok disatukan, tahu? “Mas Awan, sih, bukannya lupa makan, Teh, tapi lupa tidur! Begadang melulu!” sambarku, sambil melipat selimut bekas pakai Teh Tiara.
Kamu memprotes, “Kan, begadangnya juga bareng kamu, Rin.”
“Ih, tapi aku nggak pernah ngajakin Mas Awan begadang, ya!”
Pelototanku kamu balas dengan senyum jahil. “Iya juga, ya?”
Sikutku mendarat di pinggangmu sampai kamu mengaduh.
Teh Tiara ikut tersenyum. “Rin, abis ini aku boleh minta tolong beliin kerupuk di kantin, nggak? Bosen banget, nih, tiap hari makannya yang lembek-lembek terus,” pintanya, sewaktu aku menaruh selimut yang sudah terlipat rapi di tepian ranjang.
“Boleh, kok! Boleh!” sambutku antusias. “Kerupuk aja, nih?”
“Maunya, sih, sama kopi juga ....”
“Teteh!” tegurmu, setengah menghardik. “Jangan macem-macem, ah!”
Berbeda denganku yang nyaris melompat saking kagetnya―habis, kamu mana pernah bicara dengan nada tinggi begini?―Teh Tiara justru menanggapimu dengan santai, “Bercanda, Wan, bercanda. Aku udah lama berhenti ngopi, kok. Kalo nggak percaya, tanya aja sama A’ Awal.”
“Berarti kerupuk aja, ya, Teh,” selaku, sambil menyelempangkan tas yang sedari baru datang tadi kuletakkan di atas nakas. Belum juga beranjak dari sana, lengan kurusmu menghadangku.
“Kamu mau pergi sendiri?”
Aku mengangguk. “Kan, Teh Tiara minta tolongnya ke aku.”
“Aku ikut, ya?” tanyamu, ragu-ragu.
“Euleeeuh! Ke kantin deket aja minta ngikut!” Teh Tiara sekonyong-konyong mendorong bahumu hingga kamu nyaris terjungkal. “Emang Arin sebegitu cantiknya, ya, Wan?”
Here we go again ….
Sudah lama sejak aku memantapkan diri untuk tidak gampang goyah dengan kata “cantik” yang selalu kamu lontarkan dengan ringan, seolah bukan apa-apa (memang bukan apa-apa, sih, tapi kalau sampai bikin aku uring-uringan setelah mendengarnya, bukankah itu artinya ada “apa-apa”?). Dan, sebagaimana yang kulakukan di bus, mestinya aku bisa kembali menanggapi ucapanmu dengan santai. Cantik atau apa pun itu, aku yakin, pasti bi―
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.