24

257 41 12
                                    

SUDAH lima hari berlalu sejak kejadian itu dan belum ada tanda-tanda Rafli akan pulang.

"Diangkat, nggak, Ma?" Kurapatkan telinga pada speaker ponsel ibuku, yang seharusnya sudah berangkat kerja pagi ini, agar bisa mendengar suara si kingkong nun jauh di sana. Namun, yang kami dapatkan sebatas balasan klise khas operator. "Yah. Sekali lagi, deh, Ma. Kalo masih nggak diangkat juga, baru―"

"Halo? Nak Rafli?" seru beliau, yang sesegera mungkin membuatku bungkam.

Suara serak Rafli tersiar pelan, "Ya, Bu?"

"Kamu, tuh, ke mana aja, sih, Nak? Kok pergi nggak ngabar-ngabarin Ibu dulu?" cecar ibuku. "Kapan mau pulang? Ibu udah masakin teri balado sama sayur asem kesukaan kamu, nih!"

Rafli terkekeh. "Nanti, ya, Bu. Rafli masih banyak kerjaan, nih. Belum bisa ditinggal."

Helaan napasku mengalun berat. Duh, kalau sampai teri balado―tak peduli betapapun sibuknya, Rafli akan segera meluncur ke meja makan begitu mendengar kata "teri"―saja gagal memancing atensinya, berarti pupus sudah harapan kami untuk melihat ia kembali dalam waktu dekat.

"Pokoknya, kamu kabarin kalo mau pulang, biar Ibu bisa masakin teri balado lagi." Alih-alih meminta Rafli untuk segera pulang sesuai instruksiku, ibuku justru fokus melimpahkannya wejangan. "Jangan sampe lupa makan, ya? Kopi, rokok, sama begadangnya juga kurang-kurangin. Jangan mentang-mentang di sana kamu nggak ada yang ngawasin, terus jadi sembarangan―"

"Iya, Bu. Makasih, ya," potong Rafli sebelum omongan ibuku tertumpah lebih banyak lagi.

"Jangan iya-iya aja. Dengerin, jalanin." Ibuku masih sempat menitah saat ponsel made in China-nya kutagih habis-habisan. "Oh, iya, ini katanya si Arin mau ngomong sama kamu. Bentar, ya."

Lekas kuhirup napas banyak-banyak sebelum memulai ocehan, "Halo, Raf, ini gu―"

Panggilan terputus, bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimat.

Seolah tahu (juga takut, tentunya) aku akan menggunakan cara serupa demi menghubunginya, setelah itu Rafli meniadakan respons untuk setiap panggilan yang kulakukan lewat ponsel para penghuni rumah. Kamu, sebagai orang terakhir yang kupinjam ponselnya, turut penasaran. "Gimana?"

"Nggak diangkat juga," jawabku lemas.

"Kalian, tuh, ya, udah mulut sama-sama pedes, ngambek sama-sama susah dibujuk ...." Kamu berdecak saat ponselmu kukembalikan. "Mau gimana lagi? Tungguin aja sampe ngambeknya reda."

Aku mendelik tajam. "Ya mau ditunggu sampe kapan? Seminggu? Sebulan? Setahun? Ini Pak Batara dari kemarin udah nagih jawaban terus, lho, Mas! Aku, kan, jadi nggak enak sendiri!"

"Terus kamu maunya gimana?"

"Bergerak, lah! Datengin ke tempat kerjanya, kek. Apa, kek. Yang jelas nggak diem aja!" seruku sembari bangkit dari sofa. Eh, sebentar, aku bilang apa tadi? Mendatangi tempat kerja si kingkong?

Boleh juga!

"Mas, boleh pinjem motor, nggak? Bentaraaan aja!" Nada bicaraku berubah 180 derajat, dari sengit menjadi (sok!) cute, demi meluluhkanmu. "Nanti bensinnya aku full-in, deh. Boleh, ya? Ya?"

Bukan jawaban, yang kudapat darimu justru tatapan datar.

"Please ...." Kesepuluh jariku bertautan tatkala mengatakannya. "Beneran sebentar, kok!"

Aku sudah akan bersorak ketika bibirmu terbuka, tapi ucapanmu setelahnya justru membuatku kecewa, "Nggak. Kata Ibu, aku nggak boleh minjemin kamu motor kalo nggak darurat-darurat amat."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang