26

212 39 18
                                    

ADUHAN nyaringmu merusak ketentraman―sebentar, sekarang pukul berapa, sih?―pagiku. Masih sambil menguap, kulirik jam dinding sekilas. Oh, pukul setengah sembilan ....

"HAH? SETENGAH SEMBILAN?" jeritku, lalu meraih ponsel di atas nakas, demi bisa memastikan si Tweety tidak error seperti pemberinya. Gila, ini sih rekor! Belum pernah aku tidur malam selama ini setelah tiga tahun terakhir! "Ma! Mamaaa!"

Ah, iya. Pukul segini, sih, ibuku sudah melesat ke tempat kerjanya.

"ADUH, MAS!" Lengkingan suaramu, yang kutebak berasal dari ruang tamu, lagi-lagi menusuk telingaku. "TOLONG BANGET INI MAH, JANGAN KENCENG-KENCENG NGURUTNYA! SAKIT PISAN!"

Dasar, menerobos markas preman berani, giliran diurut begitu saja jerit-jerit.

"Ya ilah, Wan! Kalo cuma dicolak-colek, ya, nggak bakal sembuh tanganmu! Tahan aja bentaran!" Terdengar omelan Mas Har menyusul setelahnya. Dan, baru saja kepalaku menyembul dari balik pintu kamar, si dedengkot kosan―juga aroma minyak urut yang kelewat santer―segera menyambutku, "Eh, Rin! Baru bangun apa belom tidur? Nggak biasanya baru keluar kamar jam segini?"

Kulirik kamu, yang masih sibuk mengaduh, sebelum menjawab, "Baru bangun."

"Lah? Kamu baru tidur jam enam pagi apa gimana?" Sesuai dugaan, Mas Har tak langsung percaya. Ya iyalah, wong sejak tinggal di rumah ini, aku baru bisa tidur malam dua kali! "Oh, iya. Ini gimana ceritanya, sih, kok bisa si Awan keseleo gini abis jemput kamu? Si Rafli juga, tuh, kenapa mukanya pada biru-biru begitu? Kalian kecelakaan bareng? Tabrakan beruntun? Apa si Rafli ngamuk karena nggak mau diajak pulang, terus malah berantem sama kamu, Wan? Atau, kalian ngehadang mobilnya Rafli pas mau kabur, abis itu Rafli nekat nab―"

"Mas Har mau aku ambilin minum, nggak?" potongku.

"Kok malah nawarin minum, sih? Mas, kan, nanya―"

Aku sempat melengos sebelum akhirnya berbelok ke dapur. "Abisnya, aku yang denger omongan Mas Har aja haus, apalagi Mas Har yang dari tadi ngomong nggak berenti-berenti?"

"Kamu, tuh, ya. Makanya kalo orang nanya langsung dijawab, jangan malah―"

Sungutan Mas Har terputus, digantikan oleh suara aliran air dari dispenser dan―lagi-lagi―aduhanmu. Kenapa juga, sih, kamu tidak berinisiatif menjawab pertanyaan Mas Har? Bilang jatuh dari motor, kek. Kepleset kulit pisang, kek. Pokoknya apa pun selain terkecoh sandiwara gilaku, Ido, dan Obey!

Aku sudah akan kembali ke kamar saat melihat pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Rafli dan sampiran handuk di bahunya. "Tumben banget jam segini lo udah bangun? Udah mandi pula."

Alih-alih sahutan, yang kuperoleh justru picingan singkat.

"Muka lo parah juga. Hasil karya Obey apa Ido, nih?" tanyaku, sama sekali tak bermaksud meledek, dengan mata memusat pada lebam di pipi Rafli. Belum-belum aku berhasil menggapainya, si pemilik wajah secepat mungkin menghindar. "Masih sakit? Elo, sih, segala nggak mau gue obatin."

Masih belum ada respons dari Rafli. Ck, marah betulan nih ceritanya?

"Temen-temen lo seru banget, ya?" Aku kembali bercerocos kala Rafli mulai menaiki tangga. Serasa ngobrol sama punggung, sih, tapi tidak apa-apalah. Namanya juga usaha! "Kapan-kapan gue boleh ikut, nggak, kalo kalian ngumpul? Mau sekalian balikin bajunya si Obey juga, nih. Nggak enak kalo kelamaan nginep di lemari gue. Ah, sama minta maaf bagian kedua sama si Ido, soalnya kemaren gue―"

Langkah Rafli terhenti tepat di anak tangga teratas. "Rin."

"Ya?" balasku antusias.

"Mereka beneran nggak ngapa-ngapain elo, kan?"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang