KEKHAWATIRANKU sama sekali tidak terwujud. Sudah dua minggu berlalu sejak akun Instagram-ku kembali aktif, tapi tak sebaris pun pesan atau komentar jahat yang kuterima. Sangat bertolak belakang dengan orderan demi orderan ilustrasi yang terus membanjiri kolom pesan pribadi dan WhatsApp-ku.
Selesai meregangkan bahu, kuberikan selembar dua puluh ribuan pada Yogi yang baru saja pulang dari jasa ekspedisi terdekat. "Nih, buat jajan. Nanti kalo yang ini udah kelar, anterin lagi, ya?"
"Beres, Bos!" sahutnya riang.
Cengiran lebar Yogi kubalas ledekan, "Tapi upahnya goceng aja, ya?"
"Yah, nggak jadi 'beres', deh!"
Bukan cuma Yogi. Seisi rumah pun turut andil dalam keberhasilanku memenuhi orderan-orderan ini. Semisal kamu dan Mas Har yang bergantian menyambangi percetakan; Abin dan Rafli mengemas ilustrasi siap kirim―pun sudah berbingkai, tentunya―dengan berlapis-lapis bubble wrap beserta dus; juga ibuku yang sesekali mengantarkan sepiring nasi ke kamar jika aku absen mendatangi meja makan. Walau tidak tulus-tulus amat lantaran diiming-imingi upah (ini, sih, terkhusus pada bocah mata duitan berinisial Y) dan traktiran (siapa lagi yang bisa mencetuskan ide ini kalau bukan kamu, si tukang makan?), aku merasa sangat, sangat, dan saaangat terbantu karenanya.
Kurebahkan kepala di meja makan sepeninggal Yogi. Tidak seperti biasanya, dua ilustrasi saja cukup membuatku keok siang ini. Apa karena aku belum tidur sedetik pun sejak kemarin, ya?
"Mau makan juga?"
Lirikanku tertuju padamu yang sudah memboyong dua piring sekaligus dari rak. "Duluan aja, Mas. Aku masih capek banget, nih. Ngangkat sendok aja kayaknya belum sanggup."
"Mau aku ambilin nasinya?" tawarmu sambil membuka rice cooker.
Aku mendengkus. "Dibilang ngangkat sendok aja belum sanggup ...."
"Oh, jadi maunya disuapin?"
Ck! Kenapa, sih, sekarang kamu jadi genit begitu? Kecanduan sinetron tengah hari lagi, ya?
"Ya udaaah, temenin aku makan aja." Kamu baru berhenti menggoda usai kuberi pelototan. Sesendok besar sayur asem lekas tertuang ke piringmu, bergabung bersama sambal teri kacang, tahu-tempe goreng, dan nasi. "Ngomong-ngomong, kerjaan utama kamu gimana? Masih kepegang, nggak?"
"Masih, masih ...," jawabku lemas.
"Bagus, deh." Alih-alih mulai menyuap, kamu justru bangkit dari kursi dan lantas menyambangi kulkas. Kemudian, sekotak susu cokelat yang semula kukira akan turut meramaikan santap siangmu, kamu letakkan persis di hadapan wajahku. Lengkap dengan tancapan sedotan yang setelahnya kamu arahkan ke bibirku. "Minum ini dulu, deh, Rin. Biar ada tenaga."
Tatapan curigaku menyerangmu. "Nggak ada racunnya, kan?"
"Nggak, lah."
"Ujung sedotannya nggak diolesin balsem, kan?"
"Nggak, Rin ...."
"Apa jangan-jangan ini udah kedaluwarsa?"
"Allahuakbaaar!" Kamu mengerang frustrasi. Dalam sekejap, kotak susu itu pun berpindah ke genggamanmu. "Nih, aku minum duluan. Kalo kamu masih nggak percaya juga, sih, keterlaluan banget!"
Aku meringis. Tidak biasa-biasanya kamu gampang terpancing begini. Sudah kelewat lapar, ya?
"See?" tandasmu, sesudah menyedot dan menaruh kembali kotak susu di atas meja.
Sebagai pengganti anggukan, senyumku terbit.
"Instagram kamu apa kabar?" Sesuap besar nasi telah meluncur ke mulutmu saat pertanyaan itu terlontar. "Masih ada yang harus aku hapus?"
![](https://img.wattpad.com/cover/89544117-288-k500739.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Awan
RomanceNamanya cuma satu kata: Awan, tetapi cerita bersamanya takkan selesai dalam satu-dua halaman.