25

245 38 17
                                    

BUKAN rumah besar berpagar tinggi dengan lokasi tak terlacak, "markas" mereka justru berupa kontrakan dua kamar yang mudah diakses dari mana-mana. Ditambah dinding bercat ungu yang masih menyatu dengan rumah―dan tentunya bertipe sama―di sebelahnya, markas ini sungguh jauh dari kesan gahar para penghuninya. Tidak sekali dua kali juga aku tertawa melihat peralatan rumah tangga yang sama bertolak belakangnya dengan dua pemuda berpenampilan urakan (Romi sebenarnya ingin ikut, tapi ini gilirannya shift dua bersama seorang lagi yang mereka sebut Pakde itu) di dekatku: gorden biru muda, centong nasi pink elektrik, serta sarung kulkas dan dispenser bermotif bunga ....

Memang, tidak semestinya aku menilai orang dari kulit luarnya saja.

"Udah bersih, nih, Mbak." Panggilan berikut sodoran botol kaca―dengar-dengar, sih, bekas wiski―dari Ido sukses mengagetkanku. "Tehnya juga udah adem, kan? Langsung tuang aja ke situ."

Kucium mulut botol itu sebelum menurutinya. "Beneran udah steril, nih?"

"Ya ilah, Mbak. Kan, Mbak liat tuh botol udah dicuci, direbus, dicuci lagi .... Saya aja sampe sebel sendiri ngeliatnya." Bukan Ido, keluhan itu justru dimuntahkan Obey saat menyendok seblak yang kubeli di sela-sela perjalanan kemari. "Buset! Ini kuah seblak apa balsem diencerin, Mbak? Pedes amat!"

"Emang lo pernah makan balsem?" balasku cuek, seraya menuangkan seduhan teh ke dalam botol dengan hati-hati. Siapa suruh menyicipi makanan orang sembarangan? "Eh, tehnya masih sisa banyak nih. Kalian mau minum, nggak? Gue bikinnya rada manis, kok, tinggal tambahin es aja udah enak."

Ido mengangguk antusias, sementara Obey malah sudah menyiapkan gelas dan membuka freezer. "Tai, nih, si Romi. Kebiasaan banget kalo abis ngambil es batu nggak diisi lagi. Awas aja ntar tempat esnya gue isiin air bekas cucian piring, biar mabok, deh, tuh bocah sekalian!"

"Hush." Aku refleks menyela makiannya. "Ya udah, tehnya masukin freezer aja dulu, minumnya nanti kalo udah dingin. Malah kalo ada plastiknya mending dijadiin es mambo sekalian."

Bibir Obey pun mengerucut. "Iya, deh."

"Udah siap semua berarti, nih?" tanya Ido. "Pokoknya nanti jalanin sesuai script aja, ya, Bey, Mbak. Nggak usah kebanyakan improve juga, nanti malah kacau yang ada."

Aku tergelak. Script, katanya? Improve? Memangnya syuting film!

"Puas-puasin ketawa sekarang, deh, Mbak. Biar ntar pas direkam bisa serius!" tambah Obey, sembari mengangkut properti yang telah kami siapkan ke ruang tamu mereka. Masih sambil tertawa, aku dan Ido lantas mengekorinya. "Jadinya gue apa elo, nih, yang nelepon si Repoy, Do?"

Ido menyilangkan tangan. "Lo aja, deh. Gue ngeri duluan ngebayangin si Bos marah besar!"

"Ya udah, tapi pake HP lo, ya? Kuota gue lagi sekarat," pinta Obey, disambut lemparan ponsel dari sang rekan. "Kalian stand by di sofa, oke? Doain gue semoga nggak dibunuh si Repoy abis ini."

Aku mencetus, "Lama lo, ah! Keburu muka gue nggak merah lagi, nih!"

"Sori, deh, Mbak. Menyangkut hidup dan mati kita semua, nih, soalnya." Obey sempat meringis sebelum benar-benar menekan logo telepon. Selagi menunggu Rafli menerima panggilan, fitur loudspeaker pun lekas dinyalakannya, dengan volume maksimal pula. "Halo, Bos―"

"Apa lagi, sih? Gue, kan, udah bilang, gue nggak mau pulang!" pekik Rafli di seberang sana. Aku nyaris kembali tergelak kala Ido, yang duduk di sebelahku, mendadak bergidik karenanya.

"Weits. Tenang dulu, Bosku," tanggap Obey rileks, padahal aslinya sudah kelihatan nervous berat. "Kita malah berharapnya lo nggak usah pulang, kok, soalnya ...."

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang