Rintik ke-17

10 5 0
                                    


Putra sedang duduk berlima bersama orang tua, adiknya, dan Satur. Mereka fokus dengan buntil yang disajikan pagi ini. Rasa khas dari kelapa parut sangat pas dengan lembutnya daun kates. Untuk Didit yang giginya sudah sangat lemah, makanan ini dia anggap sebagai makanan paling pengerten.

Atensi lima orang itu sedikit tersita ketika suara pintu depan terbuka cukup keras. Derap langkah yang terburu-buru membuat lima orang itu berhenti melanjutkan sarapan. Mereka memilih menanti akan ada apa di pagi hari yang masih mendung ini.

"Bos, niki kulo nemu teng pager. Kangge si Bos." (Bos, ini saya menemukannya di pagar. Untuk si Bos)

"Dari?"

"Mboten wonten alamate, Bos," (Ngga ada alamatnya, Bos) kata Guto, tukang kebun mereka. Guto pergi setelah Didit menyuruhnya kembali ke depan.

Didit membawa paket bertuliskan "Handhoko" itu ke meja makan. Membuat empat orang di depannya bertanya apa isi paket itu. Termasuk Putra yang belum selesai memakan ceker ayam. Ada perasaan khawatir dan penasaran bercampur di sini. Putra sempat menduga-duga isi paket itu dengan imajinasinya yang liar. Mulai dari berkas sampai anak ayam warna-warni.

Sudah jelas dugaannya salah. Setelah Didit membuka simpul tali dan merobek kertas cokelat sebagai bungkus, tampak sebuah kotak gaya lama. Didit sempat bingung. Mungkin hanya Putra yang masih sibuk menganalisis bagaimana kotak itu hadir dan membuat hipotesis. Hingga akhirnya Didit membuka kotak itu dan menunjukkannya pada yang lain.

"Lima biji jeruk," kata Didit.

"Mas?" Rinda, istri Didit, mulai khawatir. Didit hanya membalasnya dengan senyuman. Laki-laki paruh baya ini melayangkan pandang pada anak sulungnya.

"Gimana, Put?"

"Pembunuhan. Dalam waktu dekat."

"Target?"

"Ayah," jawab Putra.

Didit mengangguk mengerti. Ancaman seperti ini memang tidak begitu familiar di Indonesia apalagi di Jogja. Ancaman seperti ini biasa digunakan di Amerika sebagai isyarat akan adanya kematian. Entah bagaimana isyarat ini sampai ke Indonesia, yang jelas sekarang nyawa Didit berada di ujung tanduk.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang