Jurnal Adhi

7 0 0
                                    

2000

Kenalkan, namaku Adhi Wicaksono. Umurku sekarang tiga puluh tahun dengan kanker paru-paru yang masih hangat tinggal di tubuh. Saat itu baru seminggu aku di Sokaraja ketika aku memberanikan diri untuk melihat tari ronggeng yang diadakan sebagai acara penutupan sebuah kampanye partai. Riuh, botol miras ada di mana-mana dan ketika istri mereka datang, aku dengar suara teriakan dari mereka yang mengeluh suaminya tak kunjung pulang padahal hari mulai petang.


"Bojoku ... bojoku, apa aku kie kurang ayu?" (Suamiku ... suamiku, apa aku ini kurang cantik?)

"Dadi lanang koh ya madonan banget!" (Jadi laki-laki kok ya sukanya main perempuan!)

"Oalah pancen bajing ko ya! Anak ora diurus malah nonton ronggeng!" (Oalah, dasar bajing kamu ya! Anak ngga diurus malah nonton ronggeng!)

"Sholat ya ora, kerja juga ora, tapi teler wadon!" (Sudah tidak sholat, kerja juga ngga, tapi mabuk perempuan!)

"Wis, ibu-ibu geret bae lanange! Keplak ndase ben sadar!" (Sudah ibu-ibu tarik aja suaminya! Tabok aja kepalanya biar sadar!)


Ketakutan melanda dan karena itulah aku akhirnya bersembunyi di belakang panggungㅡtempat di mana akhirnya aku bertemu dia, Lastri Kartosuwirdjo. Seorang perempuan yang sedang terisak. Tangisnya menjadi awal bagaimana kami bisa berkenalan, berpacaran, hingga bagaimana kami lanjut ke jenjang pernikahan.


2005

Hidup dengan Lastri adalah anugerah. Kami sama-sama bukan orang asli Banyumas. Dia dari Jogja, tempat yang belum pernah aku ambah. Kami bercerita tentang dunia ketika kami berpacaran. Hidup Lastri membaik sejak warga tahu dia adalah pacarku. Yah, setidaknya sudah tidak banyak yang meledek Lastri adalah perebut suami orang. Bersamaku, dia aman. Bersamanya, aku tenang. Ini pikirku ketika kami berjalan-jalan di kompleks rumahnya.

Aku tidak bisa bahasa Jawa. Berkomunikasi dengan orang-orang semakin mudah sejak ada Lastri. Perempuanku ini sangat luwes ketika harus berbicara halus kepada orang lain. Sejak saat itulah aku meminta tolong untuk mengajarkanku bahasa Jawa. Apalagi aku sudah jadi perangkat desa, komunikasi dengan warga adalah hal yang wajib.


"Gimana ngomongnya kalau kasih salam?" tanyaku.

"Kalau mau mengucap salam, bilang saja asu. Nih, coba aja, Mas Adhi ketuk pintu rumahnya Mbah Darmin di depan. Terus bilang asu."

"Asu itu bahasa halus ya?"

"Iya, itu bahasa krama."


Aku memantapkan diri untuk pergi ke rumah Mbok Darmin yang tidak jauh dari aku dan Lastri berjalan. Aku ulang berkali-kali kata "Asu" itu agar saat mengetuk pintu aku bisa mengingatnya. Ketika aku sampai di depan rumah Mbok Darmin, aku ketuk beberapa kali, barulah aku menyapanya dengan lantang.


"ASUUUUU!" kataku. Beberapa detik kemudian kepalaku sudah di lempar sandal oleh Mbok Darmin.


Kejadian itu terulang kembali ketika aku diundang Mbah Carik yang baru saja pulang berobat dari Jakarta. Aku dan Lastri makan di rumahnya. Agak aneh, makanan yang namanya mie ongklok ini rasanya seperti mie ayam, tapi berbeda. Makannya disanding dengan sate dan sejujurnya ini makanan yang paling aku suka. Di sinilah aku dengan bodohnya bertanya pada Lastri bagaimana caranya berkata makanan ini sangat enak.


"Jangan bohong kamu. Kemarin aku dilempar sendal oleh Mbok Darmin gara-gara asu," kataku melayangkan protes.

"Kali ini ya beneran to, Mas. Asu emang dipake buat bilang enak. Makanya sebelum Mbah Carik tanya, kamu aja yang bilang."


Aku hanya mengiyakan sarannya. Sebagai perangkat desa, sungguh, aku ingin membersihkan namaku sejak kejadian sandalnya Mbok Darmin. Saat itulah aku mulai merangkai kata sambil meminum es teh yang dibuat Minah, istri Mbah Carik. Bersama keluarga Mbah Carik, aku dan Lastri makan di ruang tengah dan akhirnya aku memberanikan diri untuk memuji makanan yang disajikan keluarga Mbah Carik dengan kedua istrinya.


"Pak, ini makanannya enak lho," kataku basa-basi.

"Apa iya lah? Ini yang bikin ibunya anak-anak. Enak ya?"

"Nggih, Pak. Asu tenan."

Insiden itu kembali terulang. Tidak dilempar sendal, tetapi aku bisa melihat tatapan lima orang dengan mulut menganga. Minah yang saat itu sedang makan juga secara tidak sadar menjatuhkan garpu dan sendoknya. Di sinilah aku sudah paham bahwa karirku sebagai perangkat desa akan hancur karena kata "Asu" yang aku berikan malam ini.


2010

Perkara "Asu" sudah selesai dan yah, aku memang dicopot dari jabatanku. Bukan karena kata yang artinya anjing itu, tapi karena kesehatanku mulai sering turun dan aku bahkan sudah terbaring di kamar beberapa hari ini dengan Lastri yang sibuk mengupas apel. Dia menceritakan kenangan dulu, ketika sepuluh tahun bersamaku. Tentu saja perihal "Asu" tidak akan pernah sirna.

"Kamu ngga salahin aku gara-gara 'Asu', Mas?" tanyanya.

"Ngapain?"

"Kan karena aku makanya kamu dicopot dari perangkat desa."

"Aku bukan dicopot, aku pensiun dini. Wong sudah lama juga aku sakit. Kasian warga nanti ngga keurus."

"Haha, sekarang gantian aku yang urus Mas," kata Lastri, istriku, lalu dia dengan mesra mencium keningku.

"Aku ngga punya apa-apa," tambahku.

"Aku juga ngga punya apa-apa, Mas."

"Kamu punya 'Asu'," kataku lalu kami berdua tertawa mengenang kembali perihal "Asu" yang membuat banyak orang bingung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang