Rintik Ke-11

16 8 0
                                    

"Barang siapa yang menerima wahyu-Nya dan bisa mengolahnya dengan ilmu yang luhur, maka dia bisa menguasai ilmu kesempurnaanㅡkesempurnaan jiwa raga. Dia layak disebut orang tua."

"Arti dari orang tua adalah orang yang tidak dikuasai hawa nafsu, berhati-hati dengan 2 hal yaitu dirinya dan Yang Maha Kuasa. Hal itu akan menetap di dalam hati agar hatinya bisa terbuka dan menerima wahyu-Nya."

"Maka dari itu, untuk anak muda supaya bisa meneguhkan hati dan perasaannya dari apa yang tidak benar dan tidak mengumbar hawa nafsu."


Putra sedang menggumamkan serat Wedhatama. Lebih tepatnya kesimpulan dari karya sastra Jawa itu sambil duduk di kursi hitam di teras. Ia menatap lurus ke depan tanpa ekspresi dan membuat tukang kebun keluarganya, Guto, menatapnya aneh. Ketika Putra melihat Guto mendekat, dia bergeser, menyuruh tukang kebun di rumahnya duduk sejajar dengannya. Enggan melihat siapapun duduk di lantai.


"Lho, Mas, sedang apa? Kenapa melamun?"

"Mboten, cuma lagi mengingat penggalan serat Wedhatama, Pak."

"Itu sih apa, Mas?"

"Itu semacam karya sastra Jawa, Pak."

"Lho, kata Mbok Dasri buku-bukunya Mas Putra pakai bahasa londo."

"Halah kata siapa haha ... itu cuma judulnya, Pak."


Tidak bisa dipungkiri, buku yang dimiliki Putra memang kebanyakan bukan dari Indonesia. Bukan karena dia krisis cinta tanah air, tapi memang semasa kuliah S1 buku referensinya dituntut untuk berkiblat pada perspektif barat. Mulai dari Santrock hingga Frankl, dia dituntut dirinya sendiri untuk memiliki buku itu. Jadwal organisasi yang padat membuat setengah kamar kostnya menjadi perpustakaan kecil berisi buku yang dia beli demi satu dua definisi.

Sesungguhnya penjelasan Putra tidak dimengerti Guto. Sudah sangat lama dia tidak bisa membeli buku, padahal kecintaanya pada buku hampir setara dengan kecintaanya pada bumi dan laut. Jangankan yang masih baru, buku bekas pun dia tak mampu. Kadang dia mampir ke bazaar buku setelah membeli pupuk, tapi otaknya berpikir ulang. Dia rasa rupiahnya lebih berguna untuk sekolah anaknya yang sekarang sedang kuliah.


"Putra banyak buku di kamar, Pak. Kalau Pak Guto mau, masuk saja. Ruang baca Putra tidak pernah dikunci." Putra meyakinkan Guto.

"Mboten lah Mas, saya mau ke bazaar buku saja yang bukunya murah-murah."

"Lho, buku Putra gratis buat Pak Guto."


Tawaran Putra membuat Guto berpikir. Anak majikannya memang tidak ada yang mengecewakan. Baru kemarin Dimas, adik Putra, menawarkan motor SMA-nya, sekarang Putra menawarkan surga yang belum tersentuh jemari keriput miliknya. Sudah sangat lama dia mendamba jelmaan bathara-bathari yang dia sebut buku. Iya, dia memuja buku seperti itu. Buku adalah hal terakhir yang dia pegang sebelum akhirnya putus sekolah saat SMP. Jadi, tidak heran jika tawaran Putra membuatnya nanar.

Guto melakukan kilas balik di otaknya. Mundur ke latar ketika dia masih SMP. Guto mengingat gurunya yang berkata,


"Orang yang membaca banyak buku dan mengambil ilmu dari situ, tidak akan sungkan membaginya dengan orang lain. Buku bukan untuk disimpan sendiri, tapi untuk dibagi dan menjadi santapan semua orang."


Kalimat tahun 1962 itu menjadi pepatah yang mengisi relung hatinya. Meskipun lebih dari setengah abad dia berpisah dengan buku, angan tentang benda mulia itu tak pernah luntur. Bacalah buku dan kamu akan jadi seorang pembaca. Jika kamu membagikannya dengan orang lain, maka kamu bukan sekadar pembaca, tapi juga manusia.

Ditatapnya Putra lewat obsidian yang kian menua. Segala cela seorang Putra membuatnya jauh dari kata sempurna, tapi inilah yang membuatnya menjadi seorang manusia. Guto paham betul bahwa gurunya sudah di surga, tapi dia yakin bayang-bayang gurunya lahir kembali pada diri seorang Putra.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang