Tetes ke-4

4 0 0
                                    

Kacamata


Hari ini adalah malam minggu, malam yang terlalu panjang jika dihabiskan hanya untuk meratapi nasib yang enggan berubah. Malam minggu adalah malamnya para sejoli. Malam di mana alun-alun ramai dengan beberapa keluarga kecil. Malam minggu adalah malamnya Nyonya Lastri. Malam di mana rumah bordi*nya akan ramai oleh pengunjung dari seluruh negeri. Iya, rumahnya bahkan sangat terkenal hingga pulau Sulawesi.

Malam ini malam pertama bagi Putra untuk melihat suasana rumah ini kala beroperasi. Putra berdiri di tangga melingkar di ruang tengah, menatap Nyonya Lastri yang menyapa tamu tanpa lelah. Beberapa perempuan sangat riuh di lantai dua, membuat Putra memicingkan matanya beberapa kali. Sangat lucu, sebelum tamu masuk ke dalam, Pak Badri kan melakukan cek suhu dan memerintah mereka untuk cuci tangan. Putra tertawa geli melihatnya.


Ketika lampu mulai dinyalakan dan alunan lagu mulai didendangkan, Putra terkejut. Yang menyala di tengah ruangan bukan lampu disko atau lampu 17an yang sering dipasang kala Agustus datang. Chandelier yang menyerupai berlian itu tergantung sangat megah. Gendang telinganya juga tidak mendengar dentum lagu dugem yang merusak telinga. Yang dia dengar hanya alunan piano. Kebingungan Putra ditangkap Nyonya Lastri. Perempuan lima puluh tahun ini tertawa kecil lalu menghampiri Putra, berdiri di dekatnya.

"Bingung?"

"Ini emang rumahnya kaya gini?"

"Rumah bordi* ini bukan seperti yang kamu tahu. Tamu yang datang juga aku sendiri yang menyeleksi. Perempuan-perempuan itu tidak akan menerima pria beristri apalagi pria bersuami," kata Nyonya Lastri lalu mengambil segelas air dan menawarkannya pada Putra.

"Aku ngga minum minuman beralkohol, Bu."

"Yang bilang ini ada alkoholnya siapa? Wong ini teh biasa."


Putra tertawa mengutuk dirinya sendiri yang mengira teh itu adalah bir. Yah, memang bocah lugu. Dia tidak bisa membedakan mana bir dan mana teh. Bagaimana tidak? Yang dia tahu hanya beberapa biji kopi atau ayam. Dia tidak tahu bir dan kawan-kawannya. Bukan karena dia tidak sudi mencicipinya, tapi karena dia sudah yakin bahwa lidahnya tidak terbentuk untuk hal semacam itu. Jangankan bir, coca cola saja dia tidak suka.


Nyonya Lastri paham itu. Dia sangat paham bagaimana karakteristik keluarga Handhoko yang meskipun terlihat garang, sesungguhnya mereka hanya kumpulan manusia yang biasa-biasa saja. Inilah alasan paling pertama mengapa dia menerima Putra bersembunyi di rumahnya. Putra biasa saja, tapi siapa pun yang melihatnya akan mudah menebak bahwa laki-laki ini bukan laki-laki biasa.


Di lain sisi, Putra akhirnya menatap dengan lekat pemandangan di depannya. Beberapa laki-laki datang lalu disambut oleh beberapa perempuan. Perempuan-perempuan itu tidak menggodanya, hanya mempersilakan masuk lalu mereka akan berbincang soal kesepakatan yang harus dilakukan. Putra kembali bingung dan gerak alisnya ditangkap Nyonya Lastri.


"Kamu harus ganti kacamata, Put," kata Nyonya Lastri.

"Berganti kacamata bagaimana? Kacamataku hilang sejak Guto membidik targetnya di Prambanan," jawab Putra datar.

"Ngga ada istilah kaya gitu. Kacamatamu masih ada, cuma perlu dibenarkan di beberapa bagian."

"Biar?"

"Biar kamu ngga liat sesuatu cuma dari sisi buruknya aja," kata Nyonya Lastri lalu turun meninggalkan Putra mematung memandang punggung perempuan setengah abad itu.


Mungkin sejak Putra tahu ada pengkhianat di keluarganya, dia mulai melihat sisi manusia lain dari sisi buruknya dahulu. Pengkhianatan itu melahirkan pembunuhan di Prambanan. Lebih jauh, pengkhianatan itu juga melahirkan kepribadian Putra yang baru. Melahirkan pemikiran yang lebih kritis, bahkan melewati itu, pemikiran Putra sekarang cenderung pesimis. Kacamatanya dulu yang dia bangun di psikologi akhirnya hancur, membaur dengan kisahnya dulu yang sudah lebur.


Tadi pagi dia disadarkan Pak Badri tentang seorang Putra yang tidak bisa mengaplikasikan pemikiran yang dimilikinya. Pak Badri menyadarkan Putra bahwa daun monstera akan terlihat cantik tergantung pada siapa individu yang menatapnya menarik. Daun monstera juga akan terlihat buruk jika seseorang melihat daunnya yang berlubang di sana sini.


Malam ini Nyonya Lastri menyadarkan dirinya bahwa Putra harus membenarkan kacamatanya yang sudah hancur. Sesungguhnya melihat dunia hanya dari sisi buruk juga akan menghancurkanmu secara perlahan. Parahnya, bukan dunia yang menghancurkanmu, tapi kamu sendiri. Di sinilah kala Putra merenungkan ini, Nyonya Lastri berbalik menatapnya.


"Kamu dan almarhum suamiku memiliki persamaan, Put."

"Sama-sama laki-laki?" tanya Putra lalu tertawa geli disambut Nyonya Lastri yang juga tertawa.

"Kalian sama-sama munafik," kata Nyonya Lastri lalu tersenyum hangat.

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang