Rintik Ke-7

26 10 0
                                    

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Omahmu gede temen, Put. Tembe mlebu pager, uwis nyasar." (Rumahmu besar banget, Put. Baru masuk pagar, udah nyasar.)

"Halah mboh. Polahe Kanjeng Didit." (Halah ngga tau. Tingkahnya Kanjeng Didit.)

Keduanya saling berbagi cerita soal pandemi. Berbagi informasi yang didapat dari kominfo dan saling menertawakan mereka yang dengan gagah menyebar hoax. Satu, dua, tiga jam telah berlalu. Kebosanan itu kembali melanda. Putra sibuk melihat keluar jendela, sedangkan Satur sibuk buka-tutup lemari. Dua bujangan yang dimabuk pandemi.

"Put, bantuin Mbak Andra bikin makanan sana."

"Bu Andra sebelah?"

"Iya. Lagi masak di dapur buat dibagiin ke orang yang nge ronda."

"Ana apa sih?" (Ada apa sih?)

"Ada kesempatan deketin mama muda."

"Asu!" Satur tersenyum sumringah.

Mereka berdua segera meluncur ke dapur. Mbak Andra, mama muda dengan anak dua, baru cerai dua tahun lalu. Menjadikannya janda kembang yang disegani banyak orang. Perempuan 29 tahun itu merupakan pemilik kedai sate dan karena kondisi yang tidak kondusif, akhirnya dia juga menjual beberapa makanan lain secara daring.

"Sore, Mbak."

"Lho, Putra? Sama siapa ini? Satpam baru?"

"Jangkrik," umpat Satur dalam hati.

"Astghfirullah. Bukan, Mbak. Dia tukang kebun," ucap Putra sambil tersenyum.

"Heh!" Satur langsung menjambak surai Putra.

Putra dan Satur langsung membantu Mbak Andra memasak rendang. Satur bertugas memotong daging dan Putra bertugas mengupas bawang. Satur tertawa ketika Putra tidak bisa mendapat pekerjaan kasar khas "laki-laki".

"Modaro, jere arep bantu Mbak Andra. Jebul malah ngupasi bawang." (Modaro, katanya mau bantu Mbak Andra. Ternyata malah ngupasin bawang.)

"Berisik kamu, Tur. Liat aja, nanti yang bagiin makanan sekelurahan biar aku."

Kompetisi keduanya sangat sengit. Satur tidak berhenti mengejek Putra yang sedari tadi hanya mengupas lima bawang putih, sedangkan Satur sudah memotong lebih dari dua kilo daging sapi. Hingga akhirnya makanan sudah dimasukkan ke dalam kotak, keduanya saling menawarkan diri.

"Putra aja, Mbak. Kasian kalo Mbak Andra panas-panasan, hehe."

"Jangan mau, Mbak. Putra ngupas bawang putih aja lama," ucap Satur.

"Ngga usah. Nanti mau diambil Mas Thoriq."

"Mas Thoriq? Takmir masjid?"

"Iya. Sekalian doain ya, kalau situasinya udah memungkinkan, saya mau dilamar dia."

JEDER! Seperti tersambar petir, keduanya termangu menatap Mbak Andra yang tersenyum malu-malu. Siapa yang tahu hasil dari niat membantu Mbak Andra adalah kabar lamaran? Keduanya bosan dan keduanya juga mundur pelan-pelan. Siapa yang bisa menandingi seorang Takmir Masjid? Bahkan ketika Putra berlimpah duit dan Satur mendapat kerjaan di LIPI, keduanya masih tidak mampu menyaingi budi pekerti seorang Thoriq, Takmir Masjid.

"Bajilak, Put. Kita mundur bae lah. Angger maju, yo keton ora tau diri." (Bajilak, Put. Kita mundur pelan aja lah. Kalau maju, ya keliatan ngga tau dirinya.)

"Modaro. Kita cuma bawang goreng, sedangkan Mas Thoriq bawang bombay."

"Kita remahan peyek, Put. Mas Thoriq jajanan Lays," tambah Satur. Lalu keduanya mengangguk sambil melihat Mas Thoriq mengambil kotak nasi.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang