Tetes ke-3

2 1 0
                                    

Monstera


Telepon itu langsung Putra tutup. Gila saja. Masih kaget dengan telepon tadi, Putra keluar kamar setelah menaruh cangkir kopi yang rasa kopinya hampir tidak beda dengan robusta dampit miliknya. Ketika dia masih sibuk dengan after taste yang diberikan kopi tadi, tidak dia sangka langkah kakinya akan menapak dengan lembut derit lantai rumah ini. Di sinilah akhirnya dia sadar, dia bukan di Jogja, dia di Purwokerto. Dia bukan di rumah gedongan miliknya, dia di rumah bordi* milik Bu Lastri.

Matanya tertuju pada dinding berwarna putih gading. Beberapa perempuan lalu-lalang di depannya. Beberapa memperhatikan wajah laki-laki ini. Sejenak, Putra berpikir untuk mengambil sembarang kacamata yang ada di atas meja kecil. Sedikit berharap tidak ada yang sadar lakon utama Prambanan sedang ada di Purwokerto. Setelah beberapa lama Putra berdiri, akhirnya dia duduk di kursi dekat dapur.


"Bisa pake kacamatanya?" tanya seorang laki-laki. "Bisa, haha. Kayanya kacamatanya ngga minus atau plus jadi-"

"Punya almarhum Mbah Carik, barangkali kamu tanya itu punya siapa."

"Oh, iya maaf. Saya tadi sembarang ambil."

"Ngga usah berusaha bersembunyi, Mas. Yang tau kamu siapa cuma Bu Lastri sama saya, Badri, pembantu di sini."

"Seorang laki-laki ada di sini?"

"Kenapa?" tanya Badri.

"Entah... maksud saya, ini rumah bordi*. Saya kira Pak Badri pengunjung."


Laki-laki bernama Badri itu menyiram sedikit air pada tanaman yang dia taruh di ujung ruangan. Pot berwarna putih itu tidak kalah mencolok dari warna dinding, tapi percayalah tanaman di dalamnya lebih cantik. Daunnya tidak begitu banyak, tapi sedikit lebar seperti taun talas. Bentuknya sangat unik, karena daunnya terkesan berlubang di beberapa bagian.


Putra memandangnya takjub. Satur pernah mengenalkannya tahun lalu dengan tanaman ini. Namanya monstera, tanaman yang akhir-akhir ini sedang naik daun, karena permintaan pasar yang semakin tinggi. Bukan hanya karena cantik, namun beberapa orang juga menilainya unik. Memiliki kesan tersendiri yang dinilai menarik.


"Cantik ya?" tanya Badri ketika menangkap Putra sedang mengagumi tanaman itu.

"Monstera?"

"Saya cuma tau ini namanya janda bolong," jawab Badri lalu tertawa kecil.

"Haha iya, janda bolongnya cantik."

"Padahal dia bolong lho, Mas. Ngga sempurna kaya yang lain," kata Badri sambil kembali ke meja dapur dan merapikannya.

"Tapi dia unik-"

"Beberapa manusia juga begitu. Termasuk beberapa tempat. Masyarakat menilai tempat ini sebagai sesuatu yang dianggap jijik, tapi untuk sebagian lainnya akan menganggap tempat ini unik. Perempuan di sini memiliki banyak kekurangan itu pasti, tapi mereka masih manusia. Derajat mereka sama dengan Mas Putra yang seorang konglomerat Jogja."


Putra mengatupkan mulutnya. Bungkam atas kalimat yang diutarakan laki-laki tua tadi. Badan yang tak lagi bisa berdiri tegak itu kini berjalan pelan ke arah luar. Badri kembali menyiram tanaman yang ada di balkon. Ia tersenyum kala dia melihat tanamannya menyapanya di pagi hari dengan tangkai, bunga, dan daun yang sangat cantik. Senyum itu tak luntur bahkan setelah dia selesai menyiram dan izin pada Putra untuk turun.


Tanaman janda bolong itu kembali menarik perhatian Putra. Laki-laki ini kembali menghela napas ketika berpikir apa yang dikatakan Badri itu benar. Ketika ada orang yang selalu bisa melihat kekurangan orang lain, maka ada juga mereka yang masih menemukan kebaikan pada orang tersebut. Hidup adalah pilihan. Lalu kisah ini akan selesai dengan pertanyaan penulis untuk para pembaca. Dalam konteks non-harfiah, jika kalian dihadapkan dengan setangkai monstera, mana yang akan kalian perhatikan? Ketidaksempurnaannya atau kecantikannya? Ada yang memilih fokus ke 'kekurangannya' dan ada yang fokus ke 'kelebihannya'. Lalu penulis bertanya kembali, 


"Siapa yang bisa menentukan itu?". Seorang Putra menjawab, "Tidak ada yang bisa."

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang