Rintik Ke-4

53 16 0
                                    


Ada yang lucu di Jogja. Kala sore menjelang petang, manusia lebih sering keluar seperti laron. Lampu juga semakin terang dan motor tidak tahu kata alon. Ini lah Jogja yang katanya kota kenanganㅡkota nostalgia. Ada beribu sudut di sini yang bisa membuatmu mengulang kembali kejadian yang mungkin sudah puluhan tahun tak pernah kamu rindu. Ada banyak pasang mata yang membuatmu terbiasa. Jogja bisa dengan mudah menjadikanmu keluarga. Termasuk Abah Joko, pemilik angkringan dekat kelurahan.

"Lho, Mas Putra? Sudah pulang ngajar?"

"Sampun, Bah."

"Kopi sama mendoan?"

"Sekalian sate ususnya, Bah."

Putra sedang melihat-lihat nasi kucing yang hampir habis ketika seorang perempuan duduk di dekatnya. Matanya sedikit memincingㅡtidak ingin ketahuan sedang melirik. Tapi, nyatanya terlalu sulit untuk melihat eksistensi perempuan itu. Mata minusnya hanya mampu melihat baju putih abu-abu khas anak SMA yang katanya masih 'bau kencur'. Rasa penasaran yang dibawa sejak kuliah ternyata memberikan keberanian tersendiri untuk Putra. Iya, keberanian untuk menengok ke sebelah.

"Lho, ngapain di sini?"

"Bukan urusan Pak Putra. Lagian kenapa sih Ratna sering ketemu Pak Putra?"

"Saya gurumu, lho. Lagian, pas di Disneyland saya ngga ketemu kamu tuh."

"Sengaja ngga ikut. Disuruh Papa ikut les lintas jurusan."

"Beneran mau jadi dokter?"

"Ngga ada pilihan lain, Pak."

Dua anak konglomerat sedang bercengkerama di tenda angkringan. Barangkali keduanya memang bosan dengan dunia masing-masing yang sama menyebalkannya dengan nama keluarga mereka. Di sinilah mungkin mereka bisa menjadi manusia seutuhnya. Melihat Abah yang sudah bertahun-tahun mengelola angkringan demi menghidupi kedua anaknya yang masih sekolah.

"Mas Putra, anak terakhir Abah tahun ini masuk SMA. Ingin sekali masuk yayasan Pak Handhoko. Bisa ngga ya?" Abah mendekati Putra yang tengah sibuk dengan sate usus.

"Si Ranti? Ya bisa, Bah. Dia kan langganan juara kelas." Abah tersenyum getir.

"Masalahnya, Abah ngga ada duit buat biayain, eh. Fasilitas sekolah Pak Handhoko kan ngga main-main. Kemarin aja baru dari mana itu? Abah lupa namanya."

"Disneyland?"

"Nah! Iya itu! Itu pasti mahal, to? Istri Abah lagi sakit. Butuh banyak duit. Sudah lamar sana-sini, tapi siapa yang mau menerima lulusan SMP seperti Abah ini?"

"Mau di sekolah Ayah atau di sekolah lain, anak kaya Ranti pasti sukses, Bah. Jangan khawatir. Ranti itu kaya kopi."

"Kopi?"

"Makin digodhog, makin wangi."

Suara motor dari pinggir jalan cukup keras untuk menutupi isak Abah yang kebanjur nanar. Matanya ditutupi tangan yang kian banyak terlihat kerutan. Peci dan sarung tuanya menjadi saksi bisu seorang ayah yang merasa bersalah pada anaknya. Terbesit perasaan bersalah juga dalam hati Putra ketika melihat seorang ayah banting tulang menghidupi tiga manusia dan semuanya perempuan.

"Abah tenang saja. Yang kaya kopi bukan cuma Ranti, tapi juga Abahnya Ranti. Abah kaya kopi, hehe." Putra tertawa kecil diikuti gelak tawa Abah.

Ratna melihat dua laki-laki di depannya dengan kagum. Kagum dengan Abah yang masih sumringah meski punya jutaan musibah, sedangkan dengan Putra ... ya, dia juga kagum karena laki-laki dua puluh lima tahun itu masih menginjak tanah padahal punya nama lebih kokoh dari rumah. Ratna diam-diam tersenyum menikmati pemandangan semanis kopi dan sehangat Jogja.

"Kita memang tidak bisa mencicipi pahitnya hidup seperti Ranti, tapi ada baiknya kalau kita memberikan sedikit rasa simpatik," kata Putra setelah Abah pergi ke belakang mengambil arang yang hampir habis.

"Tapi-"

"Kita lahir dan hidup dengan cara masing-masing. Kita tumbuh dan berkembang dengan keunikan sendiri-sendiri. Individual differences masih ada di kasta tertinggi."

Ratna bungkam. Mungkin ia hanya belum menemukan seseorang yang mampu melihat dirinya lewat kacamata seorang Ratna. Tidak semua orang harus jadi orang baik. Yang penting adalah berusaha menjadi lebih baik. Tidak semua orang harus jadi kopi. Yang penting ketika ada masalah kita berusaha untuk berani menghadapi. Pada akhirnya Ratna hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Tidak harus kopi, tapi mungkin versi terbaik dari dirinya yang mungkin lebih mengagumkan dari sekadar kopi.

Alon : pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alon : pelan

Kebanjur : terlanjur

Bau kencur : masih sangat muda (cenderung pada arti belum tahu apa-apa)

Digodhog : direbus

Sampun : sudah

Filosofi telur, wortel, dan kopi : pemaknaan resiliensi seseorang. Bagaimana seseorang bertahan dalam kondisi di luar dugaan (cenderung pada kondisi yang menyusahkan). Pemaknaannya bisa berbeda-beda tergantung konteks yang diberikan.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang