Rintik ke-28

14 5 0
                                    


Tamu undangan menjadi pihak yang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu akar permasalahan antara Didit dan Sophia. Mereka juga tidak sadar ada sekitar lima puluh personil pasukan Guto di balik Candi Perwara. Apalagi soal tabung beracun dan peledak, mereka hanya tahu soal Rinda yang dikorbankan dan Didit menyandera Ratna, anak Sigit. Tamu undangan tidak tahu bahwa selain menjadi penonton pagelaran, mereka juga secara sukarela menjadi penonton permainan catur.

Tabung berisi bioaerosol dan peledak menjadi sebuah teka-teki baru di sini. Pembaca akan menebak dengan mudah bahwa ini ide Sigit, tapi tidak dengan Didit dan Putra. Ketika Sigit berjalan ke arah pelataran dan bergabung dengan Adhi dan Sophia, Didit dan Putra percaya bahwa ada seseorang di balik mereka bertiga. Ada seseorang yang ingin menggulingkan eksistensi Didit.

"Tentang pengkhianatan, Ayah sekarang percaya. Bisa jadi ini bukan tentang keluarga Handhoko, tapi tentang Ayah," kata Didit.

"Lihat hp jadul di tangan kanan Sigit? Itu trigger-nya. Kita matikan sinyal sebelum hp itu mendapat panggilan dari seseorang yang kita masih belum tahu siapa dia," tambah Putra.

"Mas, gimana?" Dari kejauhan Dimas sudah menduga bahwa situasi ini sedikit di luar kendali.

"Ganggu sinyal jangan biarkan ada panggilan masuk ke sini," jawab Putra

"Kalo gitu, Mas Putra bakal susah komunikasi sama Guto. Kan Mas pake earphone, bego."

"Kasih Mas waktu tiga puluh detik buat dapet tiga target hijau," jelas Putra pada adiknya yang sekarang merasa kakaknya terlalu gegabah.

"Tiga puluh detik cukup?" tanya Dimas sambil berlari ke arah luar bersama Satue untuk mengganggu sinyal.

"Lebih dari cukup."

Sementara Dimas dan Satur sibuk dengan sinyal, Guto dan dua rekan utamanya sedang sibuk menunggu tiga target menjadi hijau. Posisi Sophia, Sigit, dan Adhi yang berjajar saling menutupi, membuat Guto, Parna, dan Parman sulit mencari titik di mana mereka harus membidik. Belum lagi angin malam ini lumayan kencang dan jarak antara pelataran dan Candi Perwara cukup jauh.

Belum lagi setelah mendengar Putra berkata tiga puluh detik tadi, Guto semakin tidak percaya mereka bisa menemukan titik bidik dalam waktu sesingkat dan angin sekencang ini. Meski Guto tahu ketiganya adalah seorang brengsek, namun Guto tidak ingin menyiksa mereka dengan tembakan yang asal.

"Mas, Dimas udah ganggu sinyal di bawah, sisa tiga puluh detik sebelum earphone yang dipake kita sinyalnya terputus," kata Dimas.

"Posisi?" tanya Putra.

"Pandhawa hijau."

"Punakawan hijau."

"Dasamuka merah, dua target hijau dan satu target merah."

"Aku perlu tiga target hijau," kata Putra.

"Mas dua puluh detik sam-"

"Posisi?"

"Pandhawa hijau."

"Punakawan hijau."

"Dasamuka merah, dua target hijau dan satu target merah."

"Sepuluh detik-"

"Posisi?" tanya Putra sambil menghela napas.

"Pandhawa hijau."

"Punakawan hijau."

"Dasamuka hijau, tiga target hijau, posisi target dikunci."

"Mas?"

"Eksekusi."

Malam yang panjang untuk kisah yang patut dikenang. Peredam dari senapan laras panjang milik Guto dan rekannya membuat tamu undangan kaget ketika tiba-tiba tiga badan jatuh bersamaan diikuti teriakan Rinda dan Ratna. Rinda menyaksikan sendiri tiga tubuh itu jatuh, sedangkan Ratna menyaksikan sendiri ayahnya tersungkur kaku. Tamu undangan berhamburan keluar. Mayoritas dari mereka berteriak dan di sinilah personil Guto bertugas kembali. Mereka menghabisi malam ini dengan membidik tamu undangan.

Yang tersisa malam ini hanya keluarga Didit, Ratna, pasukan Guto, dan perempuan tua di tengah pelataran. Ah! Satu lagi, burung merpati yang baru saja singgah, menyanyikan kidung di atas Prambanan penuh darah.

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan datan ana weni
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang