Rintik Ke-8

19 10 0
                                    

Tidak butuh waktu lama bagi manusia untuk merasa nyaman. Tidak butuh waktu lama untuk seorang perempuan merasa setetes kasih sayang. Tidak butuh waktu lama untuk seorang laki-laki menjatuhkan pilihannya. Semua tergantung individu yang ada pada cerita bukan? Ya, Tuhan memang dalangnya, tapi lakon punya keunikan sendiri untuk merubah kenyataan.

Tidak tabu jika Ratna jatuh hati pada mata gelap milik Putra. Jika mata gelap itu yang menemaninya, Ratna akan mematikan lampu tidur kesayangannya. Jika senyum seorang Putra bisa bertahan barang sedetik di hidupnya, Ratna akan mengabaikan matahari sebagai pusat tata surya. Jika pemikiran Putra bisa dijabarkan menjadi lembaran peta, Ratna tidak akan bermimpi untuk pergi keliling dunia. Cukup bersama Putra dan Ratna akan bertemu menara Eiffel, mencumbu salju dari Tibet, atau melihat kawanan domba di New Zealand.

"Terakhir kita bahas apa?" Putra berjalan bolak-balik di depan rak bukunya. Membiarkan anak kelasnya melihat koleksi buku Putra lewat layar laptop mereka.

"Stratifikasi sosial, Pak," celetuk seorang anak.

"Tanpa Bapak jelaskan, sepertinya kalian sudah paham soal stratifikasi sosial. Yah ... stratifikasi sosial ngga jauh-jauh dari kasta."

Putra tidak banyak menjelaskan apa yang ada di buku paket berwarna biru itu. Ia lebih senang memberikan contoh realita di masyarakat tentang stratifikasi sosial lewat beberapa contoh kasus yang ia kumpulkan. Setelah itu, ia akan meminta anak-anak untuk menyampaikan pendapat mereka tentang siapa yang berada di kasta teratas? Sultan? Orang kulit putih? Mereka dengan gelar doktor?

Pertanyaan itu didiskusikan dengan apik seperti sebuah acara debat di TV meskipun terbatas layar karena memang keadaan sedang tidak memungkinkan untuk bertatap muka. Terjadi komunikasi dua arah di sini. Putra menolak untuk menyuapi anak didiknya dengan buku paket. Apalagi buku paket mahal ini masih memberikan jawaban salah. Hingga akhirnya kelas berakhir dan satu persatu anak kelas keluar ruang zoom, Ratna justru berusaha berbincang dengan Putra.

"Ratna ngga paham kenapa Bapak bisa jelasin stratifikasi sosial senetral itu," kata Ratna.

"Kenapa? Karena saya anak Handhoko makanya kamu kira saya akan mencontohkan keluarga saya sendiri?"

"Bisa jadi kan?"

"Individual differences masih berada di kasta paling atas. Saya tidak pernah memberikan kasta teratas pada manusia."

Ratna hanya tersenyum. Jawaban Putra biasa saja, tapi pipi Ratna bersemu merah jambu. Entah apa yang membuatnya menahan malu, tapi yang jelas Ratna masih berdiam menatap Putra yang sibuk dengan buku. Ketika semua partisipan sudah keluar, Putra kaget ketika masih ada Ratna di ruang zoom.

"Ngga ada kelas lain?"

"O-oh ada, Pak," jawab Ratna gugup, ketahuan menatap Putra lalu tersenyum.

"Kalau begitu saya matikan koneksinya ya."


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang